ANALISIS SEMIOTIKA PADA JARGON DAN MOTTO KAMPANYE CAPRES CAPWAPRES DALAM PILPRES 08 JULI 2009

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Di dalam negara yang menganut demokrasi pemilihan umum adalah syarat mutlak untuk menentukan arah dan nasib bangsa yang diamanatkan pada orang-orang pilihan. Pada tanggal 8 juli 2009 mendatang rakyat indonesia untuk kedua kalinya (setelah pemilu 2004) akan menentukan pilihannya langsung memilih presiden dan wakil presiden setelah melewati pemilhan legislatif . tentunya jika ada pemilihan tentu ada masa kampanye para kandidat untuk merebut hati dan suara rakyat melalui program dan janji-janji manis jika mereka kelak terpilih nanti. 
Masa kampanye telah dimulai dan seperti yang pernah kita tahu, spanduk, baliho, bendera dan poster serta reklame dari ukuran kecil sampai ukuran jumbo banyak menjamur di tiap pojok dan pinggir jalan, serta tak lupa janji dan jargon yang menjadi ciri khas dari masing-masing pasangan capres dan cawapres. Hari sabtu 16 Mei 2009, resmi sudah 3 pasang Capres-Cawapres yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden Juli 2009 mendatang sudah mendaftarkan diri ke KPU. Semuanya hadir ke kantor KPU dengan modifikasi gaya yang disesuaikan dengan konsep masing-masing. Televisi melaporkan kejadian tersebut, bahkan ada yang secara langsung.
Dari masing-masing tiga pasangan Capres dan Cawapres terpilih pada Nomor urut satu sesuai hasil undian KPU Megawati Soekarno Putri dengan Prabowo Subianto Djoyohadiusumo disingkat dengan MEGA-PRO, yang diusung oleh PDIP dan partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya. Pada Nomor urut dua duet Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan Boediono atau SBY – Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat sebagai Partai pemenang pemilu Legislatif kemarin dan partai hijau atau partai-partai yang memperoleh suara yang tidak terlalu signifikan pada pemilu legisatif kemarin. Boediono sendiri bukanlah orang partai namun dia dari kalangan ekonom mantan pejabat di BI (Bank Indonesia) serta Mentri Keuangan. Sedangkan seperti yang kita ketahui SBY adalah calon incumbent disamping Jusuf Kalla. Pada urutan terakhir Nomor tiga ditempati oleh pasang Incumbent juga oleh Wapres Jusuf Kalla dan Wiranto atau biasa disingkat dengan JK-Win yang didukung oleh partai Golkar dan Partai Hanura.
Dari ketiga pasangan capres dan cawapres ini tentu telah mempunyai tim sukses untuk memenangkan pemilihan presiden yang sudah didepan mata kita. Kampanye juga sudah digelar. Yang menarik jika kita amati adalah dari ketiganya ini masing-masing mempunyai motto dan jargon yang mereka gembar-gemborkan selama kampanye dan banyak menghiasi di pinggir-pinggir jalan. Semangat membaa indonesia menuju ke lebih baik untuk bisa lepas dari kemiskinan yang masih membelit, sampai pada sembako murah dan tentang ekonomi kerakyatan yang pro terhadap rakyat mereka tawarkan. Sedangkan dari calon incumbent SBY dan Jusuf Kalla tidak kalah sengitnya dalam persaingan untuk merebut suara dengan saling klaim bahwa keberhasilan pemerintahan selama ini takepas dari pera masing. Ini tercermin dari jargon dan motto kampanye yang mereka pakai selama masa kampanye.  
Dari pasangan Mega-Pro identik dengan jargon-jargon kerakyatan atau “menuju Indonesia yang lebih baik”. Sedangkan dari calon Incumbent SBY-Boediono masih percaya dengan motto bahwa apa yang menjadi hasil pemerintahan sekarang masih dan layak untuk dilanjutkan dengan motto “terus berjuanguntuk rakyat, Lajutkan”. Sedangakan daari kubu JK-Win tidak kalah sengit yang beranggapan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Tak ragu-ragu memakai slogan “Lebih cepat lebih baik”. Namun dibalik semua kata-kata jargon dan motto para kandidat itu. Apakah memang benar akan mereka wujudkan atau appakah hanya janji-janji manis belaka. Lalu bagaimana dengan rakyat setelah itu?
Ada anggapan bahwa rakyat sekarang sudah cerdas memilih. Ada juga naggapan bahwa memang selama ini rakyat hanya dibutuhkan ketika masa pemilu tapi ketika berkuasa janji-janji seakan hilang dan tak pernah terealisasi dan rakyat terpinggirkan lagi. Jargon dan motto mereka seperti hilang tanpa bekas. Rakyat masih tetap bergelut dengan kemiskinan, kesulitan mendapatkan pekerjaan serta barang-barang kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal. Belum lagi ketakutan akan penggusuran bagi orang kelas bawah yang ada dikota juga kenaikan BBM yang biasanya diikuti oleh kenaikan disegala bidang kebutuhan rakyat kecil.
Untuk itu, sebelum memilih kita harus jeli dalam menilai tepat orangnya. Karena nasib bangsa dan negara ada ditangan pilihan rakyat. Jangan lagi memilih kucing di dalam karung. Dalam hal ini penulis ingin melakukan penelitian karena terdorong untuk mengetahui jargon dan motto para capres dan cawares apakah memang benar seperti itu atau hanyalah omong kosong untuk merebut suara rakyat. Untuk menganalisis jargon dan motto penulis akan memakai teori semiotika sebagai landasan teorinya. Serta analisis relevansi makna dengan kondisi dan isu-isu sosial yang selama ini terjadi. Serta kaitannya dengan situasi politik yang ada.
Tentunya kita semua berharap Pilpres yang akan digelar 8 Juli mendatang akan berjalan dengan baik dan lancar serta LUBER. Serta terpilihnya pemimpin yang selalu berpihak terhadap rakyat, dan kemudian dari itu akan membawa rakyat yang adil dan sejahtera yang selama ini diiadam-idamkan. Semoga saja. 

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah makna yang terkandung dalam slogan dan motto kampanye capres dan cawapres dalam pilpres 2009 melalui (a) ikon (b) indeks dan (c) simbol?
2.Bagaimanakah relevansi makna slogan dan motto dengan realitas sosial yang ada?

1.3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini memiliki tujuan :
1.Mengetahui makna yang terkandung dalam slogan dan motto kampanye capres dan cawapres dalam pilpres 2009 melalui (a) ikon (b) indeks dan (c) simbol 
2.Mengetahui relevansi makna slogan dan motto dengan realitas sosial yang ada

1.4.Manfaat Penelitian
  Temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dan teoritis. Secara teoritis hasil penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu bahasa khususnya semiotika. Sedangkan teoritis diharapkan masyarakat dan para pembaca mampu mengetahui makna yang terkandung dalam jargon dan motto ketiga pasangan capres dan cawapres. Dan diharapkan sebagai acuan untuk untuk memilih dalam pilpres mendatang.




BAB II
LANDASAN TEORI
Semiotika berasal dari kata Yunani “Semion” yang berarti tanda. Menurut Pialang, semiotika sebagai metode kajian dalam berbagai cabang keilmuan dimungkingkan karena kecenderungan untuk memandang wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengankata kata lain bahasa dapat dijadikan model dalam berbagai wacana sosial maupun politik. Berdasarkan Semiotika bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya juga dapat di pandang sebagai tanda. Hal ini di mungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri  
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign) berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah suatu bagi seseorang berarti sesuatu bagi yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat di amati atau dibuat teramati dapat di sebut tanda. Karena itu tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda.
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda di sana ada system. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempuanyai dua aspek yang di tangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified bidang petanda atau konsep atau makna.
Tanda kan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal (benda) yang lain di sebut referent seperti lampu merah yang mengacu pada jalan berhenti.
Dua tokoh Semiotika yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Semiologi menurut Sassure pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda di belakangnya harus ada sistem perbedaan dan konvensi yang memungknkan makna itu. Dimana ada tanda disitu ada sistem. Sedangkan bagi Pierce ilu yang dibangunnya sebagai semiotika (semiotic). Bagi Pierce penalaran manusia senantiasa lewat tanda. Artinya manusia hanya dapt bernalar dengan tanda (Berger 2000:10) 
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah suatu yang dapat mewakili suatu yang lain dalam batasan tertentu. Tanda akan selalu mengacu pada suatu yang lain, oleh pierce disebut objek (detotatum). Tanda baru berfungsi bila di interpretasikan dalam bentuk penerima tanda melalui inetrpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Hubungan ketiga unsur yang ditemukan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotic (tryadic semiotic).
Dalam teori Pierce kemudian dibagi menjadi beberapa tanda agar bisa dikenal yaitu:
Ground adalah sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce tanda (ground) dibagi menjadi;
1)Qualisign adalah kualitas yag ada pada tanda.
2)Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda misal kata keruh pada kata “air sungai keruh” yang menandakan bahwa ada hujan pada di hulu sungai. 
3)Legisign adalah normal yang dikandung oleh tanda, misal rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
sedangkan berdasarkan objeknya, pierce membagi tanda menjadi tiga segitiga semiotic (tryadic semiotic); Icon, Indeks, Symbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contih indeks adalah tanda panah penujuk arah bawah di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Symbol adalah tanda yang di akui keberadaannya berdasarkan hokum konvensi. Contoh symbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, dan symbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent), dan konsep (interpretant atau reference). 
Bentuk (slogan dan motto) biasanya menimbulkan persepsi pembaca (masyarakat) terhadap pasangan capres dan cawapres sehingga setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan (pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda) . Proses ini merupakan proses kognitif yang terjadi dalam memahami pesan jargon dan motto dalam iklan capres dan cawapres .
Dalam penelitian, penulis ingin ingin mengungkapkan makna maupun simbol-simbol dari suatu teks. Menurut Endraswara (2003 : 161 menegaskan bahwa tujuan dari analisis isi ialah inferensi yang diperoleh melalui identifikasi maupun penafsiran . untuk menganalisis jargon dan motto kampanye capres dan cawapres ini akan didasarkan pada semiotik Charles Sanders Pierce. Berdasarkan konsep tryadic Charles Sanders Pierce, melalui ikon, indeks dan simbol dan tentunya akan berlanjut pada eksplorasi makna berkelanjutan dengan fakta dan realitas sosial yang ada. 



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggnakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah,dan presentase agar mudah dipahami dan disimpulkan.
3.2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan semiotika untuk mengetahui makna yang terkandung dalam jargon dan motto capres dan cawapres
3.3. sumber Data
Karena berupa jargon dan motto, data diperoleh dari surat kabar, iklan di televisi serta survey langsung di jalan-jalan raya tempat baliho dan spanduk serta bendera. 
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan teknik penelitian berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber buku dan surat kabar.










BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Ikon, Indeks, dan Simbol dalam jargon dan motto kampanye Capres dan Cawapres 2009
Makna yang muncul dari jargon dan motto kampanye Capres dan Cawapres yang dikaji, memberikan pengertian dasar dari interpretasi secara semiosis dapat ditemukan lewat analisis triyadic dan pembedahannya dari masing-masing pasangan Capres dan Cawapres. Dalam hal ini (jargon dan motto) karena sebagai instrument kampanye pilpres tentu sasarannya adalah rakyat/masyarakat yang menjadi objek untuk memperebutkan simpati dukungan dan suara dalam pilpres. Selanjutnya dapat dilihat tabel berikut: 

Krisis global yang sedang melanda perekonomian negara-negara di dunia disamping kemiskinan serta korupsi yang sudah mengakar nampaknya masih menjadi isu untuk merebut suara rakyat dalam pemilu (pileg) maupun pilpres 8 Juli 2009 sebagai janji untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan lebih baik. Akibat sistem ekonomi yang neoliberalis yang dianut mengakibatkan krisis global. Isu tentang agen neoliberalisme juga menjadi gencar disuarakan untuk saling menyerang diantara pasangan Capres dan Cawapres in bisa dilihat dari jargon “ayo memajukan negeri sendiri dengan kemampuan kita sendiri”. Kubu Mega-Pro yang selama ini dikenal sebagai kubu oposisi terus menyuarakan“bangkit ekonomi kerakyatan” dan kembali menggunakan ekonomi kerakyatan dan menolak sistem ekonomi neolib yang telah terbukti menyengsarakan rakyat. Lain halnya pada pasangan incumbent yang terus mengklaim prestasi masing-masing selama memerintah dari kubu SBY-Boediono, dan kubu JK-Win terus mengajak masyarakat untuk me-Lanjutkan pemerintahan yang ada. Disamping isu keberhasilan memberantas kasus-kasus korupsi dan bantuan-bantuan terhadap rakyat (BLT, Raskin dll).  
 Disamping saling serang isu neoliberalisme kampanye pencitraan juga sangat gencar karena media dianggap sebagai alat yang ampuh untuk membentuk persepsi masyarakat dalam menilai sosok atau figur yang sesuai dengan norma-norma ketimuran. Dalam kampanye pencitraan, kubu SBY paling gencar melakukannya. Image adalah nomor satu untuk merebut simpati dan suara, maka ini bisa dimasukan dalam ikon image yang lebih menonjolkan sosok, daripada prestasi atau track record kebijakan-kebijakan selama ini. Contoh yang paling nyata adalah SBY megambil jingle lagu produk mie instans “ SBY Presidenku……” disamping menggunakan instrumen non politik seperti keluarga dll. 
 Memang diantara ikon dengan indeks seringkali sulit dibedakan ketika pada aplikasi pemaknaan. Artinya, sering disebut sebagai ikon namun sekaligus juga menjadi sebuah indeks. Ikon, indeks, dan simbol dapat menjadi satu yang tak dapat dipisahkan. Pengertiannya, bahwa ketika penyebutan ikon …… sebaliknya juga disebut simbol, karena ada indeks dan juga ikon (Susilo Mansurudin, 2006).
4.2. Relasi Makna Jargon Dan Motto Dengan Realitas Sosial Yang Ada.
 Masa kampanye secara resmi Capres dan Cawapres terbuka dimulai pada tanggal 11 Juni 2009. Adu argumen jargón dan motto serta visi misi dilakukan. Iklan, baliho dan spanduk dengan ukuran jumbo terpasang dimana-mana, yang konon sampai mengahabiskan miliaran rupiah dilakukan demi meraih suara yang maksimal pada hari penyontrengan. Namun apakah itu hanya sebuah janji-janji manis belaka atau memang akan dilaksanakan, jika kelak terpilih? Pertanyaan itu sangat patut untuk dilontarkan, mengingat dari pengalaman-pengalaman pada setiap pemilu. Janji-janji manis selalu mewarnai dalam setiap pemilu. Lalu jika sudah terpilih rakyat seakan terpinggirkan lagi dan tentu kesejahteraan tetap saja. bahkan tambah turun.
 Dari analisis relevansi makna ini. Penulis ingin menghubungkan janji-janji yang tertuang dalam jargon dan motto para Capres dan Cawapres dengan kondisi sosial. Dengan kata lain jargón dan motto Capres dan Cawapres yang ingin dianalisis, sehigga akan diketahui makna relasi antara hubungan tanda (jargón dan motto) dengan kondisi masyarakat.
Penganalisisan relasi makna jargón dan motto dengan realitas sosial akan dimulai dari Nomor urut pasangan Capres dan Cawapres satu persatu sesuai dengan tabel sebelumnya;


4.2.1. Mega-Pro ( Megawati Soekarno Putri – Prabowo Subianto Djojohadikusumo).
“Ayo bersatu untuk Indonesia lebih baik” 
Dalam slogan dan motto ini Mega-Pro ingin mengajak rakyat, terlebih pendukungnya yang terkenal mempunyai basis masa setia PDIP untuk bersatu menuju Indonesia yang lebih baik. Sadar akan pentingnya persatuan yang semakin teracam oleh isu disintegrasi. Sebagai pasangan Nasionalisme kerakyatan. Mega-Pro merasa perlu untuk mengangkat dan membenahi permasalahan itu ketika terpilih nanti. Mustahil akan memunculkan kondisi lebih baik jika persatuan belum terbangun dan terancaman disintegrasi. Kondisi ini bisa dilihat dibeberapa daerah yang menginginkan lepas dari indonesia seperti tuntutan merdeka dari GAM Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) serta OPM (Organisasi Papua Merdeka). 
“Mega-Pro, rakyat No 1”
Kekalahan pilpres tahun 2004 menjadikan Megawati dan partainya menjadi oposan (oposisi) yang selalu mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan selama ini. Di tahun 2009 ini juga, Megawati kembali mencalonkan diri, bukan sebagai incumbent tapi sebagi oposisi. Diantara jargon dan motto kampaye pasangan Mega-Pro lah yang paling kencang menyuarakan nasib da penderitaa rakyat, terutama rakyat kecil atau wong cilik seperti, buruh, nelayan, petani, pengangguran dan pelajar miskin. Bukan hanya sekedar mengumbar janji-janji manis demi mendulang perolehan suara, Mega-Pro gencar melakukan kontrak politik untuk menyakinkan rakyat bahwa pasangan Capres-Cawapres serius dan peduli serta akan melaksanakan apa yang dikontrakan selama kampanye jika terpilih kelak. Namun dari kontrak politik ini bisa dianlisis bahwa kontrak politik merupakan bentuk dari krisis kepercayaan rakyat terhadap ucapan atau janji dari pasangan Capres-Cawapres dan seolah-olah jika kontrak olitik ini tidak dilaksanakan sesuai kontrak masyarakat bisa menggugat secara hukum kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih kelak. Kontrak politik sering dilakukukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum tanpa suatu klarifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klarifikasi hukum. Karena dibuat dengan bahasa abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakan dalam ranah hukum (non enforceable). Ada sebuah penelitian yang membuktikan bahwa lebih dari 85 persen putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak ditaati oleh pejabat TUN (Tata Usaha Negara). Jika putusan pengadilan pun tidak ditaati, apalagi arti sebuah kontrak politik.(Hadi Shubhan; Jawa Pos, 2/07/09). Inilah gambaran dengan realitas bahwa krisis kepercayaan rakyat disebabkan oleh degradasi moral para calon/kandidat.
“Bangkit Ekonomi Rakyat”  
Sistem atau kebijakan suatu Negara memiliki peran penting dalam membangun perekonomian suatu bangsa. Kebijakan ekonomi yang baik dapat membawa suatu bangsa yang maju, adil, sejahtera, atau sebalikya. Karena itu di dunia ini, ada bangsa yang maju dan sejahtera. Namun, ada yang tertinggal dan menderita. Itu bergantung kepada pengelola ekonominya (Sri Adiningsih; Jawa Pos, 25/05/09). Seperti diketahui pembanguna ekonomi Indonesia merosot dari tahun ke tahun. Ini bias dilihat dari turunnya sector formal dan meningkatnya sector informal. Daya saing internasional juga bias dikatakan lemah lemah. Ini dibuktikan dengan semakin tertinggalnya Indonesia dengan Negara-negara asia bahkan di asia tenggara seperti Kamboja, Vietnam maupun Myanmar. Factor ketergantungan kepada luar negeri contoh paling nyata sehingga ekonomi Indonesia semakin merosot tajam sehingga pengangguran dan kemiskinan masih menjadi teman akrab rakyat. Inilah kemudian pasangan Mega-Pro menawarkan misi bahwa ketergantungan kepada luar negeri harus dikurangi bahkan dihilangkan dengan kembali ke UUD 1945 dengan membangkitan ekonomi kerakyatan, bukan sebaliknya yang selama ini dirasakan. Namun dalam motto ini tidak didukung oleh track record Megawati yang pernah memegang jabatan Presiden periode 2002 sampai 2004, yang pernah menjual aset-aset negara dan BUMN kepada asing. Inilah yang kemudian diragukan oleh masyarakat dan menjadi bumerang bagi tersendiri bagi pasangan Mega-Pro.  
“Karena menindas Buruh kami bertekad mencabut UU 13 (Ketenagakerjaan)”
Seperti jargon dan motto bangkit ekonomi Indonesia. Slogan nomor 3 ini dipertanyakan lagi, dan seolah menjadi blunder bagi Megawati. Karena UUD No 13 (Ketenagakerjaan) ini disahkan pada saat periode Megawati selama menjadi Presiden dulu. Seperti diketahui bahwa UU No 13 ini sangat menindas pekerja/buruh, karena mengesahkan outsourching atau tenaga kontrak. Jelas tenaga kontrak sangat merugikan buruh/pekerja dan lebih menguntungkan para pengusaha dan pemilik modal. Karena status pekerja sebagai kontrakan dan bukan sebagai pekerja tetap, perusahaan, para pengusaha dan pemilik modal tidak bisa dikenai untuk menjamin dan mensejahterkan pekerja. Inilah yang kemudian memasung hak-hak dasar buruh dan pekerja kontrakan yang semakin terjepit oleh keadaan karena melawan atau memprotes tentu akan terancam PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), namun disatu sisi mereka tertindas oleh sistem yang bernama UU No 13 yang tanpa ada jaminan kesehatan, keselamtan bekerja, tunjangan kesejahteraan dan tentunya bisa mem-PHK-an sepihak tanpa berkoordinasi dengan pekerja tanpa pesangon. Dalam kondisi krisi global seperti sekarang, gelombang PHK menjadi momok menakutkan bagi buruh. Dalam situasi krisis itulah keberadaan hukum tanaga kerja,mulai dipersoalkan sebagian kalangan (Agustinus Simanjuntak; Jawa Pos, 01 Mei 2009) Dari pasangan Mega-Pro ini jelas bisa diketahui, bahwa untuk meraih suara dan simpati rakyat janji-jani manis tentang perubahan/penghapusan UU itu berkorelasi dengan situasi krisis pun seakan sah untuk diangkat dan dijadikan komoditas (politik) kampanye mereka. 
“Pelajar miskin harus kuliah kami bertekad mencabut UU BHP”
Diantara kebijakan yang tak populis pada masa pemerintahan SBY-JK adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Lalu seperti apakah UU BHP sendiri? Seperti yang diketahui dalam subtansinya bahwa UU BHP ini melegalkan privatisasi pendidikan terutama pada perguruan tinggi negeri. Kebijakan ini mengacu pada pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam subsidi biaya pendidikan. Sebab, imbas dari regulasi itu perguruan tinggi mencari dana sendiri dengan cara meninggikan harga pendidikan bagi siapa pun. Dengan begitu, harapan agar anak-anak orang miskin bisa menikmati bangku pendidikan tinggi ibarat panggang jauh dari api (Moh. Yamin; Jawa Pos, 18 Mei 2009). Padahal dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 menyatakan fair miskin dan anak-anak terlantar harus dipelihara negara sedangkan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) menyatakan pemerintah wajib membiayai pendidikan setiap warga negara. Kurangnya para elite politisi memperhatikan pendidikan ini coba ingin diangkat oleh pasangan Mega-Pro sebagai komoditas mereka dalam pilpres ini yang dijanjikan jika terpilih kelak akan dicabut dan akan menjalankan amanat konstitusi.
4.2.2. SBY-Boediono (Susilo Bambang Yudoyono – Boediono)
“Terus berjuang untuk rakyat. Lanjutkan”
Sebagai kandidat incumbent, gembar-gembor dan klaim terus didengungkan oleh pasangan SBY-Boediono. Ini bisa dilihat dan seakan menjadi trade-mark dari kata “Lanjutkan”. Klaim tentang keberhasilan dibidang ekonomi, politik serta membentuk opini bahwa selama ini apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK, berhasil dan pantas untuk di-Lanjutkan. Lalu apakah benar adanya bahwa selama ini SBY telah memperjuangkan rakyat dan pantas melanjutkan untuk jangka 5 tahun kedepan?. Jika kita flash back dan berkaca dengan kebijakan-kebijakan yang pernah diambil dan dibuat. Pada masa periodenya SBY pernah mengambil kebijakan kenaikan BBM (Bahan Bakaar Minyak) tiga kali, karena alasan kenaikan minyak mentah dunia yang mencapai 150 Dollar perbarel .ini lah yang kemudian mendapat protes keras dari berbagai kalangan,karena dinilai sangat memberatkan rakyat. BBM adalah barng yang sangat sensitif. Jika BBM naik hampir dipastikan bahwa semua mulai dari transportasi, industri, dan barang kebutuhan pokok akan naik. blok cepu yang akhirnya jatuh ke tangan exxon, impor beras yang sangat mematikan petani, kaarena harga hasi panen dalam negeri jatuh drastis yang kalah akan beras impor. Memang selama masa pemerintahan SBY, bermacam kebijakan juga sepintas ada yang pro terhadap rakyat, seperti beras untuk rakyat miskin, sekoah gratis, dan BLT (Bantuan Tunai Langsung) yang diberikan kepada rakyat sekitar Rp.300.000.00 kepada rakyat yang diangap tidak mampu denga alasan untuk mengurangi beban bagi rakyat kecil. Lalu apakah tidak ad efek langsung dari kebijakan ini? BLT telah terbukti banyak membawa korban serta membuat psikologis rakyat hanya berpangku tangan. 
Namun yang perlu dikritisi adalah bahwa unsur kepentingan politis sangat kental dalam setiap kebijakan-kebijakan populis SBY. Kenapa tidak dari dulu. Kenap juga baru-baru saja ini menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Lalu dengan demikian SBY mengeklaim bahwa mereka benar-benar pedulidengan rakyat.
“Berjuang untuk Rakyat sejahtera,Demokratis dan Berkeadilan”
Slogan-slogan tentang klaim SBY sepintas terlihat sama semua. Semua seolah untuk memperjuangakan rakyat yang menuju kesejahteraan, demokratis dan berkeadilan. Jika kita melihat berita tentang pembagian zakat, pembagian BLT atau pembagian yang bersifat gratis atau murah untuk rakyat. Pasti penuh dengn desak-desakan bahkan sampai membawa korban jiwa. Iniah ukuran apa benar rakyat sejahtera?. Lalu pada bidang politik, apakah sudah demokratis. Sudahkan kita dijamin oleh negara untuk bebas berpendapat? Kasus Prita Mulyasari adalah kasus nyata yang muncul ke hadapan publik betapa negara dalam hal ini kurang sekali melindungi hak-hak setiap warga negara. Karena tentunya kesejahteraan, demokratis dan keadilan hanya untuk orang yang berduit saja. Tapi inilah mas kampanye. Semua calon sah untuk mengumbar janji dan klaim-klaim tentang keberhasilan meraka selama ini, yang terlihat seolah membela rakyat kecil. 
Menjelang pilpres, senter diberitakn bahwa negara kita dikuasai oleh sistem neoliberalism. Isu ini muncul karena sosok terpilihnya pendamping SBY, Boediono yang sebagai wakil presiden. Orang yang paham akan siapa Boediono dan bagaimana sepak terjangnya menganggap bahwa Boediono adalah sosok agen neoliberalis, yang akan menjerumuskan bangsa ini kepada penjajahan gaya baru penjajahan dengan ekonomi bkan dengan fisik lagi. Ini kemudian menjadi ramai di media cetak dan elektronik. Lalu para kandidat membela diri sendiri denga mengatakan bahwa mereka bukanlah agen neoliberalis mereka sangat pro rakyat.


“SBY Presidenku. Pemimpin bangsa sahabat keluarga”
Menurut Aristoles bahwa salah satu satu elemen dalam berpolitik untuk merebut hati dan simpati adalah faktor-faktor non teknis, seperti keluarga kegiatan sehari-hari, hobi dan berbagai hal yang berkaitan dengan sang politikus itu sendiri. Inilah yang coba dibangun oleh SBY. Politik pencitraan sangalah lekat oleh SBY, ini kemudian yang akhirnya menjadikan mendapat julukan si Tebar Pesona. Tidak dpungkiri bahwa persepsi masyarakat paling besar masih dipengaruhi oleh media. Apalgi SBY sendiri suka muncul dalam setiap kesempatan dan pintar mengambil hati rakyat dengan dirinya yang dinulai sebagi seorang presiden yang santun, sopan dan gagah. Ini juga ditunjukan oleh calon wakil presidennya Boediono sebagai sasok yang pendiam tidak banyak mengumbar kata-kata di media dan sosok yang religius. Kemenangan Obama di Amerika rupanya telah turut serta mempengaruhi SBY-Boediono. Ini bisa dilihat dari simbol dan cara untuk meraih dukungan lewat cara-cara Obama seperti menggunakan elemen keluarga.
“Tegas memberantas korupsi. Tidak cepat memperkaya diri”
Tampaknya masalah ekonomi menjadi prioritas ketiga capres dalam pemilu pilpres 2009 ini lebih banyak mengumbar tentang perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. Ini bisa dilihat dengan banyaknya visi dan misi ketiga capres dan cawapres yang banyak mengusung tema ekonomi. Namun ada benang berah yang dilupakan para capres bahwa untuk membangun sistem perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tidak berangkat dari permasalahn hakiki yang menyebabkan bangsa indonesia jatuh miskin, dan mengalami krisis berkepanjangan. Akar dari semua masalah ekonomi semestinya bersumber dari mengguritanya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Jabir Alfaruqi; Jawa Pos, 12/06/09). Inilah yang coba diangkat oleh pasangan SBY-Boediono dalam jargonnya. Untuk membangun pemerintantahan yang bersih harus tegas memberantas korupsi. Ini juga diperkuat dalam periode periode pemerintahan SBY selama ini dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi (KPK). Namun kita masih sering meragukan penanganan korupsi hanya sebatas tebang pilih dan yang sering menjadi luput dari pandangan kita bahwa penanganan korupsi hanya sebatas untuk kepentingan atau komoditas politik itu kenapa ada anggapan bahwa penanganan kasus korupsi hanya sebatas tebang dan pilih. 
“Pemerintahan bersih untuk rakyat. Lanjutkan”
Mengacu pada jargon sebelumya “tegas memberantas korupsi dan tidak memperkaya diri”, SBY ingin menunjukan bahwa pemerintahan yang ada selama ini adalah pemerintahan yang bersih dan tidak memperkaya diri yang pantas untuk dilanjutkan. Namun isu neoliberalisme telah menjadi pembicaraan hangat di banyak kalangan. Bahwa pemerintahan ang selama ini banyak dicampuri oleh kepentingan asing dan terus-menerus dihantui oleh privatisasi aset-aset negara. Kesan menguat neoliberalisme ketika SBY memilih Boediono sebagai calon wakil presidennya bahwa bangsa ini kedepannya hanya akan diserahkan oleh asing dengan jalan privatisasi dan utang sehingga pemerintah bisa di dikte oleh kaum neoliberalis internasional. Boediono yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Megawati itu dikenal sebagai motor privatisasi perusahaan nasional, bahkan Boediono dinilai sebagai simbol neoliberalisme yang membawa keterpurukan ekonomi bangsa. Banyak mengatakan pilihan SBY kepada Boediono lebih karena selera (Neoliberalis) Internasioanl. Ini kemudian berlanjut menjadi semacam anggapan bahwa pemerintahan SBY selama ini adalah pemerintahan yang Neoliberalisme dan tidak bersih. Ini ditunjukan dengan kenaikan BBM tiga kali, penyerahan blok Cepu ke exxon, perpanjangan kontrak Freeport di Papua. Hutang juga semakin menigkat mencapai kisaran 1.700 Triliun, dan dalam jargon pemerintahan bersih untuk rakyat ini adalah sebagai pencitraan dan jawaban-jawaban akan tuduhan-tuduhan itu.
4.2.3.JK-Win (Jusuf Kalla-Wiranto)
“Lebih cepat lebih baik”
Diantara ketiga pasangan JK-Win lah yang paling cepat mendeklarasikan diri untuk maju sebagai capres dan cawapres. Ini dikaitkan dengan motto lebih capat lebih baik. Pasangan JK-Win ini, menilai bahwa perbaikan dan pertumbuhan ekonomi haruslah cepat diselesaikan sehingga rakyat tidak terus menunggu dan menunggu, yang selama ini akrab dengan kemiskinan dan kesulitan hidup yang semakin akrab di dalam bangsa yang gemah ripah loh jinawi akan sumber daya alam yang melimpah. Ini juga dikaitkan dengan sosok JK yang mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam segala kondisi karena latar belakang usahawan yang dibawanya dan Wiranto sebagai purnawirawan tentara yang mampu dengan cepat dan tegas pula.
“Pasangan Nusantara, untuk Indonesia yang lebih baik”
Mitos bahwa Presiden Indonesia hanya untuk orang Jawa ingin ditepis oleh JK (yang asli Bugis). Anggapan ini rupanya ingin juga dibuktikan dengan kolaborasi antara JK-Win. Sebagaimana baliho dan spanduk yang ada di jalan-jalan, tentang pasangan nusantara ini sesuai dengan apa yang diusung. Ini bisa dilihat dari JK sendiri masih keturunan Bugis sedangkan istrinya seorang Minangkabau lalu Wiranto dari Jogja dan istrinya yang berasal dari Sulawesi. Pasangan ini juga seolah ingin membuktikan dari peryataan Andi Mallarangeng yang mengatakan bahwa orang Bugis belum saatnya jadi Presiden, yang menurut JK pernyataan itu sangat menyesatkan dan bisa menimbulkan benih-beniih konflik dan disintegrasi bangsa yang selama ini coba dibangun kembali. Tentunya pasangan nusantara ini ingin merebut suara di daerah-daerah di luar Jawa yang selama ini sebagai sosok anak tiri dalam pembangunan, dan juga untuk indonesia yang lebih baik.
“Hanya yang peduli bisa membantu”
Slogan ini sebenarnya ingin menepis bahwa latar belakang saudagar dalam diri JK tidak serta merta menghilangkan kepedulian JK untuk bangsa ini. Slogan ini juga seolah ingin membantah dari pernyataan SBY yang mengatakn soal bisnis keluarga. Namun JK menjawab bahwa apalah arti bisnis keluarga jika tidak ada kepedulian dan membantu,ini mengacu pada perebutan klaim kebijakan koversi minyak tanah dan BLT yang ingin diklaim oleh SBY. Sosok JK yang peduli dengan penyelesaian konflik dai daerah-daerah mulai dari perdamaian di Aceh samapai perjanjian Malino di maluku juga ternyata ingin diangkat dalam slogan ini.  

“Lugas dan tegas”
Latar belakang saudagar dan tentara ini tentu ingin ditunjukan oleh pasangan JK-Win yang ingin digambarkan sosok JK yang Lugas dalam bertindak, berbicara, dan mengambil keputusan. Sedangkan Wiranto sebagai sosok purnawirawan militer ditampilkan tegas dalam dirinya. Ini mengacu pada diri SBY seorang Presiden peragu selama ini, walapun SBY sendiri berlatar belakang militer. Dalam kebijakan-kebijakan yang tidak populis pun JK pun selalu tampil untuk mengumumkan, walau banyak mendapat tentangan dari banyak kalangan.
“Ayo majukan negeri dengan kemampuan kita sendiri”
Persaingan antara kandidat caprea dan cawapes sangatlah panas dan keras, namun jika melihat lebih persaingan bermuara pada SBY-Boediono melawan Mega-Pro dan JK-Win. Ini diperkuat dengan isu Neoliberalisme yang menyerang pada pasangan SBY yang selama ini sumber daya alam kita lebih banyak diserah kepada asing atau pihak Neoliberalisme. Mengelola dan memajukan dengan kemampuan diri, bangsa indonesia sendiri tentu lebih cepat mengejar ketertinggalan yang ada dan akan menuju pemerintahan yang lebih baik, yang selama ini masih tertinggal dan banyak dari kekayaan kita di eksploitasi dan bukan dinikmati oleh bangsa sendiri. Disamping jargon tentang ekonomi kerakyatan oleh Mega-Pro, inilah jargon yang ingin menyindir juga terhadap pasangan SBY-Boediono yang disimbolkan sebagai pro Neoliberalisme. 
“Hanya yang berani yang pantas me-Lanjutkan”
Persaingan SBY dan JK jika kita lihat menarik untuk kita bahas, dimana persaingan antara dua kandidat incumbent. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bukan hanya saling sindir dan perang kata-kata di media antara SBY JK, namun pada perang slogan dan jargon yang muncul juga. Sosok JK sebagai sosok yang berani lugas serta dapat mengambil keputusan cepat dimanfaatkan untuk menyindir balik klaim SBY selama ini, bahwa SBY adalah Peragu dan hanya bisa manggut manggut serta hanya bisa mencitrakan diri seperti bintang sinetron. Diantara tiga kandidat barangkali JK lah yang laing berani mengritik dan berbicara dengan lugas dan tegas menyangkal semua yang selama ini menjadi klaim oleh lawannya (SBY)
 
BAB V
KESIMPULAN
Pada bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.
5.1. Kesimpulan
  Berdasarkan uraian analisis pada BAB III, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, pemilu adalah mutlak untuk dilakukan. Untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pejabat dalam pemerintahan untuk masa 5 tahun kedepan. Karena asas dari demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka rakyat adalah prioritas utama untuk disejahterkan. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Wakil-wakil rakyat dan para pejabat haruslah amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya, dan landasan untuk bernegara tentunya UUD 1945 sebagai landasan dasar. Namun jika konstitusi tidak dijalankan serta rakyat hanya dijadikan komoditas kepentingan setiap pemilu, niscaya bangsa itu adalah bangsa yang sedang mengalami kehancuran., dan tentunya bangsa ini belum sepenuhnya merdeka 100 %. 
Mustahil rasanya untuk untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik jika korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi budaya para elite politisi. Sekuat apapun pondasi dan sistem ekonomi kita jika budaya KKN yang sudah mengakar ini masih ada niscaya indonesia masih akan lama terjerembab dalam kemiskinan di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Sementara visi dan misi tentang pemberantasan korupsi masih sebatas tebang pilih dan hanya menjadi komoditas politik untuk saling jegal merebut kekuasaan.
Kedaulatan negeri ini sedang terancam baik dari dalam dan luar negeri. Baik kedaulatan wilayah kita yang semakin dinjak-injak oleh negara lain maupun kedaulatan ekonomi, budaya, dan politik kita. Jika kita tidak untuk belajar mandiri dalam mengelola sumber-sumber daya alam kita (Nasionalisasi). Ketergantungan terhadap luar negeri juga harus dikurangi dan kalau bisa dihapus untuk menuju bangsa yang berdulat dan berdikari (berdiri dikaki sendiri).
Dari kesimpulan relasi jargon dan motto di atas, bahwa sangat erat hubungannya antara satu sama lain. Namun yang patut kita prihatinkan. Mengapa, tidak ada langkah-langkah serius untuk menangani semua permasalahan yang ada yang ditampilkan dari janji-janji jargon dan motto kampanye mereka. Bukankah pada pemilu yang lalu-lalu semua itu sudah pernah di tampilkan dan dijanjikan, tapi ternyata hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Untuk rakyat tidak ada bukti yang nyata, rakyat hanya menjadi kambing congek setiap pemilu.Konstitusi juga hanya sebatas sebagai formalitas UUD yang lemah syahwat tanpa implemntasi, jika demikkian bersap-siaplah bangsa ini untuk lima tahun kedepan masih akan terjajah secara ekonomi dan ketergantungan terhadap luar negeri masih tinggi, untuk lima tahun kedepan kita masih tetap bangsa ini terpuruk multidimensional. Bukan hanya krisis ekonomi yang berkelanjutan tapi krisis kepercayaan, krisis budaya, krisis moral.

0 komentar: