Aku Lelaki

Aku lelaki
Namun sepi
Bukan romantis
Juga manis

Aku lelaki
Setengah sejati
Sedikit pengecut
Tapi bukan curut

Aku lelaki
Sering dimaki
Tak pernah jera
Walau masuk penjara

Aku lelaki
Berteman sunyi
Bersaudara alam
Bernasib kelam

Aku lelaki
Sedang dicari
Rentenir kampus
Penguasa tandus

Aku lelaki
Biasa dibenci
Oleh lawan
Maupun kawan

Aku lelaki
Tlah ku jelajahi
Tlah kutemukan
Perempuan idaman

Aku lelaki
Minum kopi
Suka kamu
Kamu mau??? Selengkapnya...


Sajak Mata Pisau

Cinta seperti mata pisau
Jangan dipake memotong besi
Bukan pula untuk mengiris batu

Cinta itu tidak buta
Tetapi menyala terang
Disetiap sudut kata-kata
Di atas langit, bersam bintang

Cintamu jangan tumpul
Laksana asap yang mengepul
Karena cinta adalah titik cahaya
Jika tidak, menjadi bahaya

Maka ambilah rakit
Dan mulai mendayung
Hey…. Ayo bangkit.!!!
Mumpung pagi masih buyung

Cinta seperti mata pisau
Jangan dipake memotong besi
Bukan pula untuk mengiris batu
Biarkan saja ia pergi
Lupakan saja dan berlalu.

Nginden
18, Oktober 2009
09:02 pm Selengkapnya...


LAGU IBU
-WS Rendra- (Dalam Empat Kumpulan Sajak)

ANGIN kencang datang tak terduga.
Angina kencang mengandung pedas mrica.
Bagai kawanan lembu langit tanpa perempuan.
Kawanan arus sedih dalam pusaran.
Ditumbukinya pedas dan batu-batuan.
Tahu kefanaan, ia pergi tanpa tinggalan.
Angina kencang adalah berahi, sepi dan malapetaka.
Betapa kencangnya serupa puteraku yang jauh tak terduga.


MOTHER’S SONG
-WS Rendra- (Four Clollections of Verse)

WILD winds blow as they please,
Wild winds bite like sharp pepper,
Like sky-bulls with no mate,
Whirling sourly in a whirpool,
Smashing rocks and hills,
Knowing they’re mortal, leaving nothing behind them.
Wild winds are love, loneliness, ill luck,
Blowing like my far-off son, who knows where.




Selengkapnya...

Pamflet cinta


Pamflet cinta
-WS Rendra-



Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. 
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan
Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjdai kaca.
Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.
Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
……. Sebenarnya apakah harapan ?
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma !
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lengang…….
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
nongol dari perut matahari bunting,
jam duabelas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmat turun bagai hujan
membuatku segar,
tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma !
Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Pejambon, Jakarta, 28 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi



Selengkapnya...