ANALISIS KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK


ANALISIS KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK

DALAM NOVEL "SAMAN" KARYA AYU UTAMI

Tinjauan Sosiologi Sastra dan Marxis

Oleh: Amir baihaqi




BAB I

PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang

Runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dan lugas dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat experimental dengan menyuarakan kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra. Banyak karya sastra pada zaman orde baru yang dicekal dan dilarang bahkan untuk menyimpan atau sekadar membaca karena dianggap tidak sesuai dengan rezim. Mungkin itu sebabnya ketika orde baru tumbang dan Soeharto dipaksa turun dari singgasananya dan militer tak bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini buku-buku kiri yang tadinya dilarang dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan resiko hukuman penjara diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis (Anton Kurnia: 54-55,2004). Kini setelah reformasi orang bebas untuk membaca, memiliki, tanpa takut untuk dan sembunyi-sembunyi dan sekarang banyak kita jumpai serta diperjual-belikan di toko-toko buku. Novel-novel seperti karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh diantaranya, paling sering kena cekal dan dilarang terbit kini banyak kita temui di toko buku dan sangat menjamur.

Kondisi dan situasi itu tak lepas dari pasca reformasi 1998, juga pada munculnya para sastrawan, baik sastrawan yang sudah mempunyai nama maupun sastrawan baru memulai karir. Kondisi itu dimanfaatkan betul untuk mengekspresikan karya-karya mereka yang terinspirasi dari kondisi sosial selama orde baru sampai akhir keruntuhannya. Mulai dari karya sastra yang menyuarakan tentang penindasan perempuan atas laki-laki sampai penindasan rakyat atas pemerintahan. Selain faktor sosial dan politik dimasa orde baru, faktor pergantian generasi sastrawan juga turut mempengaruhi akan lahirnya para seniman dan sastrawan baru untuk berkreasi dan berkarya secara merdeka. Kebebasan yang dimiliki serta adanya Dewan Kesenian sebagai wadah atau fasilitas bagi seniman dan sastrawan turut menciptakan kegairahan dan kesemarakan untuk memunculkan kecenderungan bereksperimen pada para seniman dan sastrawan untuk memulai karir.


Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai karir dalam kesusastraan Indonesia. Namun awal berkarir bukan berarti karyanya tidak termasuk diperhitungkankan. Ini dibuktikan dengan karyanaya pertama berhasil sebagai pemenang sayembara serta mendapat penghargaan. Novel Saman karya pertamanya adalah pemenang sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1999. Juga penerima perhanghargaan atas karyanya yang dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakat. Ia mendapat penghargaan dari Price Claus Award dan Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia). Demikian juga Novel Saman telah diterjemahkan dalam enam bahasa asing; Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Perancis dan Czech. Dengan alasan itulah penulis sangat tertarik untuk menganalisis novel Saman karya Ayu Utami.

Novel Saman sendiri sebenarnya berjudul “Laila tak Mampir ke New York” dan direncanakan sebagai fragmen dari novel pertama. Namun dari pengerjaan subplot berkembang melalui rencana semula dan menjadi novel terpisah dengan judul “Saman”. Novel lanjutan dari Saman terbit ditahun 2001 berjudul “Larung” sebagai lanjutan Saman.

Novel Saman menceritakan tentang seorang pastor muda dan empat perempuan yang bersahabat Sejak kecil yaitu Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laila. Sebelum dikenal dengan nama Saman dia dikenal dengan nama Wisanggeni (Wis) Seorang pastor muda yang mendapat tugas dari Uskup sebagai pastor paroki parid yang melayani di suatu kota kecil Perabumulih dan Karang Endah Palembang. Di kota perabumulih Pastor muda Wisanggeni banyak berinteraksi dan kenal dengan penduduk sekitar yang ternyata kebanyakan adalah kaum transmigran yang bekerja sebagai buruh perkebunan karet. Kondisi para penduduk transmigran seperti digambarkan oleh Wisanggeni jauh dari sejahtera dan masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan serta keterbelakangan di balik hingar bingar kota-kota maju.

Konflik terjadi ketika penduduk transmigran sebagai buruh perkebunan karet dengan pengusaha atau pemilik modal yang menginginkan perkebunan karet dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan cara membeli paksa tanah perkebunan penduduk dengan harga Sangat murah. Dari konflik ini, Pastor Wis dilanda kesedihan dan kegelisahan untuk membela penduduk transmigran dan menyeret dia pada konflik dengan petugas dan aparat pemerintah. Dengan tuduhan telah menghasut penduduk transmigran untuk membuat rusuh dan pembakaran.

Setelah tertangkap dan dijebloskan ke penjara serta mengalami penyiksaan. Wis berhasil dikeluarkan dari penjara. Namur setelah bebas bukan berarti Wis lepas dari incaran dan mata-mata aparat. Dari kondisi itu akhirnya Wis menghilangkan jejak dan mengganti identitasnya dengan nama samaran yaitu Saman, untuk mengelabuhi aparat dan petugas yang terus mengincarnya.


    • Rumusan Masalah

  • Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
  • Bagaimanakah karakter tokoh utama, Wisanggeni (Saman)?

  • Bagaimanakah konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Saman?

  • Konflik apa saja yang dialami Wisanggeni (Saman)?

    • Tujauan Masalah

  • Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini memiliki tujuan :
  • Mengetahui karakter tokoh utama, Wisanggeni (Saman).

  • Mengetahui konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Saman.

  • Mengetahui konflik yang dialami Wisanggeni (Saman).
    1. Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu sosial khususnya sosiologi sastra. Secara praktis penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra dalam mengapresiasi novel-novel Indonesia, khususnya dalam hal ini novel Saman karya Ayu Utami.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra untuk menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan dibutuhkan suatu kritik.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk menganalisis novel Saman. Namun wilayah sosiologi sastra sangat luas. (Wellek dan Warren (1993:111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu;

  1. Sosiologi Pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideology politik dll, yang menyangkut diri pengarang.

  2. Sosiologi karya Sastra: yakni yang mempermasalahkan tentang suatu karya sastra apa yang tersirat dalam suatu karya sastra dan tujuan atau amanat yang hendak ingin disampaikan.

  3. Sosiologi Sastra: yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Sedangkan Umar Junus (1986:3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:

  1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.

  2. Penelitian mengenai pengasilan dan pemasaran karya sastra.

  3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya.

  4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.

  5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan

  6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni termasuk sastra.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang keempat, yakni pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra atau pendekatan Marxis yang berhubungan dengan konflik antar kelas atau pertentantangan kelas antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal/pengusaha.



BAB III

METODOLOGI PENELITIAN


    1. Metode Penelitian

Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah, dan prosentase agar mudah dipahami dan disimpulkan.

    1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra khususnya teori Marxis.

    1. Sumber Data

Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Saman karya Ayu Utami. Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 1998.

    1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian berupa data primer (novel Saman) dan data sekunder, data ini diperoleh dari beberapa buku lain.



BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Karakter Wisanggeni/Saman.

Athanasius Wisanggeni sebelum memakai nama Saman adalah seorang anak muda yang baru saja menamatkan sekolah teologi di Driyakarya dan belajar di Institut Pertanian Bogor. Setelah Wisanggeni menamatkannya, acara sakramen presbiterat dan pembacaan kaul dan pelantikan dilaksanakan. Sejak saat itu orang-orang memanggil dia Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Tugas untuk melayani umat dimanapun dan kapanppun telah siap diemban Wis. Namun dalam hati kecil Wis, dia sangat berharap ditempatkan di pedalaman Perabumulih. Dia merasa banyak yang bisa dikerjakan disana, sebab dia adalah lulusan Institut Pertanian. Mayoritas penduduk Perabumulih sendiri bekerja di perkebunan karet.

Bagi Wis Perabumulih bukan tempat asing. Masa kecilnya pernah merasakan di Perabumulih karena Bapaknya pernah bekerja dinas sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia cabang Perabumulih. Disana juga dia mendapatkan pengalaman yang aneh, suatu pengalaman yang tidak pernah ia ceritakan bahkan pada Ayahnya sendiri. Pengalaman tentang roh-roh yang ada disekitarnya. Yang dianggap Wis adalah roh-roh adiknya yang telah lama tiada. Dari alasan itu mengapa Wis ingin sekali ditugaskan ke Perabulih tempat dimana ia mempunyai ikatan yang sangat erat sejak kecil. Kesempatan untuk ditugaskan ke Perabumulih akhirnya datang dan dikabulkan oleh Keuskupan.

Setelah sepuluh tahun akhirnya Wis datang lagi ke Perabumulih walau menurut Wis sendiri tempat itu tak banyak berubah. Perasaan tentang adik-adiknya yang telah lama tiada membuka kembali akan kenangan tentang masa lalunya. Perasaan pahit dimana Ibunya yang dikasihinya yang juga mengasihinya telah lama meninggal bercampur dengan rasa keingintahuan selama ini tentang Perabumulih selama sepuluh tahun yang telah ditinggalkannya.

Setelah beberapa hari dan beberapa minggu dengan kegelisahan dan kesedihan, apa yang tak pernah dia saksikan keterbelakangan dan kemiskinan penduduk, membuat Wis bertekad untuk mengabdikan hidupnya dengan orang-orang di desa transmigran Sei Kumbang yang berjarak tujuh puluh kilometer dari Perabumulih.

Di Sei Kumbang juga Wis memutuskan untuk membantu meringankan penderitaan gadis yang dianggap gila. Sikap rasa peduli dan keibaan terhadap orang-orang di Sei Kumbang ini, akhirnya dia meminta izin dari pastor kepala Perabumulih agar direstui untuk membantu penduduk Sei Kumbang dan di berjanji akan membagi tugas antara kepastoran parokial dan membantu penduduk di perkebunan karet.

4.2. Konflik Sosial dan Politik.

4.2.1. Definisi Konflik

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 1989: 285). Dua kelas ini satu sama lain tidak bisa saling menyesuaikan kehendak, usaha dan maksud-maksudnya. Kelas buruh berusaha untuk mencukupi kehudupan diri dan keluarganya, berikhtiar supaya mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi kelas majikan berusaha mencari keuntungan dari perusahaannya (perkebunan)dan mereka akan mendapat untung bila orang-orang yang menjadi buruhnya bisa memberi keuntungan, misalnya mereka senang (buruh) mendapat upah rendah, suka bekerja berat, dan sebagainya (Semaoen, 2000: 32)

4.2.2. Macam-macam Konflik

Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:124) konflik dibedakan menjadi dua kategori, yaitu konflik internal dan eksternal.

  1. Konflik internal atau kejiwaan adalah konflik yang terjadi dalam hati jiwa seorang tokoh cerita. Jadi konflik ini adalah konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri.

  2. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu dengan di luar dirinya. Konflik eksternal ini oleh Jones (1968:30) dibedakan dalam dua kategori lagi, yaitu konflik fisik dan konflik sosial;

    1. Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan oleh adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam.

    2. Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia.

Sedangkan konflik dalam novel Saman mengacu pada konflik eksternal khususnya pada konflik social penduduk Sei Kumbang, yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Stara konflik ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elite yang biasa disebut lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota , pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh tradisional, dan tidak bergairah di dalam mengikuti perubahan-perubahan (Naisikun, 1984: 70). Meskipun begitu konflik internal juga dialami oleh tokoh utama juga ketika dia menanyakan tentang keberadaan Tuhan.

  • Semakin kuat watak komoditi dalam pertanian, maka semakin besar jarak yang memisahkan petani dengan pasar, dan semakin besar pula ketergantungan petani pada pedagang yang berfungsi sebagai perantara. Pedagang yang menemukan tempatnya diantara produsen dan konsumen, menghasilkan modal dagang (Merchant Capital). Seiring dengan kemunculan pedagang, muncul pula lintah darat yang meminjamkan uang pada masa paceklik kepada petani, dan yang menciptakan dasar bagi eksploitasi modal lintah darat (User Capital). Dengan demikian proses ini membuat kecenderungan teraleanisasi petani pada tanahnya sendiri (Bonnie Setiawan,1944;41) dalam novel Saman, ini ditunjukan ketika petugas perkebunan memergoki para penduduk Sei Kumbang menjual getah karet lateks pada tengkulak karena menawar lebih tinggi dan datang sambil mengutangi beras dan kebutuhan petani.

Maka mereka lebih memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan datang dengan mengutangi beras serta kebutuhan tani” (halaman 82).

  • Petani di Sei Kumbang dianggap oleh PTP perseroan yang mengelola perkebunan karet berhutang kepada PTP atas benih, pupuk dan pembukaan lahan transmigrasi yang ditanggung oleh PTP. Sebagai angsuran hutang lima sampai sembilan juta, maka penduduk wajib menjual hasil perkebunan kepada PTP. Bersamaan dengan ini meningkat pula pembayaran tunai dari tuan tanah kepada petani yang menyebabkan pergantian pembayaran dari bentuk barang (payment in kind) kepada pembayaran tunai (payment in cash) dan dengan demikian meningkatkan tingkat pembayaran secara umum, sementara itu petani hanya sanggup membayar secara tunai dengan cara menjual hasil produksinya (Bonnie Setiawan, 1999; 40). Jelas ini Sangat membebani penduduk transmigrasi Sei Kumbang akibatnya banyak penduduk tidak mampu untuk sekedar membeli beras.

Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang” (halaman 81).

  • Teror terhadap penduduk semakin gencar agar tanah mereka dijual ke perseroan baru pengganti PTP yang bangkrut. Teror dan intimidasi dilakukan pertama-tama dilakukan dengan menjebol rantai rumah Upi gadis gila yang dirawat Wis lalu disusul dengan merusak dan merobohkan kincir angin yang dibuat Wis dan penduduk sebagai rumah asap dan pembangkit listrik mini bagi penduduk Sei Kumbang karena di tempat itu Belum teraliri listrik. Tak hanya para penduduk yang merasa sedih, tapi Wis juga teramat terpukul.

Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt. Dusun yang kini terdiri sekitar delapan puluh rumah dan langgar itu telah diterangi lampu dan diramaikan bunyi radio. Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini menara kincir itu dirobohkan” (halaman 91).

  • Borjuasi senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alatproduksi dan telah mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sudah dari hal ini adalah pemusatan politik.... sebagai gantinya datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselenggarakan dengannya, dan dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis (Marx & Engel; 1848).Karena itu PTP sebagai persero yang berwenang di Sei Kumbang terus merugi akhirnya PTP menyerakan ke perusahaan lain PT Anugerah Lahan Makmur, yang akan mengubah dusun Sei kumbang menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun rencana ini ditolak oleh penduduk desa, lebih-lebih Wis yang menganggap lahan ini milik penduduk dan perkebunan karet dibuka untuk petani bukan perusahaan.

Kami melihat bahwa dusun ini (Sei Kumbang) saja yang belum patuh untuk menanda tangani kesepakatan dengan perusahaan.” (halaman 92)

Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini lalu menyerahkan ke perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit” (halaman 93).

  • Keempat petugas yang datang memberitahu penduduk gagal untuk membujuk agar mematuhi kesepakatan pergi dengan mengancam akan menggusur perkebunan karet milik penduduk dengan buldózer.

Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanamnya. Jika dalam sebulan tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu”. (halaman 93).

  • Penggusuran dusun yang pernah diancamkan oleh para petugas atas perintah Gubernur memang tertunda berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Namun perusahaan baru menggunakan teror dan intimidasi terhadap warga yang jauh lebih mengerikan. Puncaknya adalah ketika mereka merobohkan pohon-pohon karet dan oknum satpam suruhan perusahaan kebun memperkosa istri Anson di rumahnya, ketika Anson dan para warga sedang berkumpul untuk membahas perkebunan mereka.

  • Ia telah dengan tiada kenal kasihan telah merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka ragam yang mengikat manusia pada atasannya yang wajar dan tidak meninggalkan ikatan antar manusia dengan manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata selain daripada pembayaran tunai yang kejam (Marx & Engel;1848) Penduduk dengan spontan mengejar pelaku dan berhasil membunuh dari salah satu pelaku. Anson yang begitu geram memimpin warga untuk meyerang dan membakar pos. Wis tak sanggup menceggah kemarahan penduduk itu terutama Anson. Sementara para warga khususnya Ibu-ibu dan anak perempuan dikumpulkan di surau. Tak lama setelah para warga laki-laki pergi meyerbu pos datang tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka. Petugas akhirnya menangkap Wis, sementara dusun Sie Kumbang dibakar mulai dari rumah asap dan rumah-rumah penduduk.

Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia (Wis ) menjerit teringat Upi yang belum Ia sempat gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya (Upi). Tapi dua orang dengan seragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada dan pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangnnya sebelum ia sempat mengerang nyeri.” (halaman 104).

Dari pemaparan konflik sosial dan politik yang terjadi antara penduduk Sei Kumbang. Ketika memutuskan menjadi transmigran mungkin mereka berharap agar kehidupan mereka lebih baik daripada di tempat asalnya. Namun kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Awal dari pembukaan lahan mereka telah menanggung hutang yang tak pernah mereka bisa bayar terhadap perusahaan yang mengutangi. Yang seharusnya tanah dan perkebunan mereka bisa dimanfaatkan dan menjadi sumber penghidupan di monopoli oleh perseroan yang telah menghutangi mereka. Disini juga kita bisa melihat betapa miskin dan keterbelakangannya penduduk di Sei Kumbang. Ini bisa dilihat listrik belum masuk dusun mereka. Padahal jarak dusun ke Perabumulih yang menjadi kota minyak hanya tujuh puluh kilometer.


4.2.3. Konflik menurut Teori Marxis

Salah satu dari kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap masyarakat dimana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan materil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. (Paul Johnson, 1994; 46)

Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan mencerminkan pola hubungan ekonomi, karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada dalam masyarkat. Oleh karena itu karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986: 24-25). Untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas, evolusi tidak berjalan dengan mulus melainkan penuh dengan hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat tanpa kelas yang dikuasai oleh kaum proletar (buruh).

Dari pemaparan di atas bahwa konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Sehingga untuk sekedar bertahan hidup mereka menjual hasil kebun kepada tengkulak. Namun dari sinilah konflik dimulai ketika perusahaan berganti. Penduduk dipaksa untuk menanam kelapa sawit di bawah ancaman agar mau menuruti kepentingan perusahaan yang baru.

Kita lihat juga bagaimana kepentingan politis Gubernur sebagai kepala daerah yang seharusnya membela hak-hak para buruh kebun karet, tapi akhirnya mereka dikorbankan oleh Gubernur demi kepentingan penanaman kelapa sawit dan segelintir orang (pemilik modal). Teror dan intimidasi akhirnya membuat para penduduk melawan kesewenangan dari perusahaan. Tentu mereka kalah karena petugas dan aparat telah siap merepresif mereka.

Inilah yang disebut Marx sebagai pertentangan kelas, antara kelas proletar (buruh) dengan perusahaan (pemilik modal), akibat dari faktor hubungan-hubungan ekonomi yang timpang, pada akhirnya menimbulkan permusuhan dan pertentangan kelas yang akan dimenangkan oleh kelas tertentu.

4.3. Konflik Wisanggeni/Saman.

Seperti yang diketahui dalam pembahasan sebelumnya, sosok Wisanggeni adalah sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang oleh dia dianggap tidak wajar. Jiwa sosialnya akan tergerak dan ikut membantu jika dirasa itu sangat mengusik hatinya. Ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi penduduk dusun Sei Kumbang dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu sangat mengganngu jiwanya untuk turut membantu.

Setiap malam Wis selalu memikirkan dan gelisah serta selalu bergelut dengan batinnya sendiri. Lalu pada suatu saat ia memberanikan diri untuk berbicara kepada pastor kepala Pater Westenberg mengajukan diri agar ia diberi ijin untuk membantu warga di Sei Kumbang. Karena keterlibatan Wis terhadap Warga Sei Kumbang Wis sering meninggalkan tugas parokialnya. Merasa mendapat teguran dari pator kepala Wis meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dialami dan yang ia kerjakan. Bahwa dia tidak bisa melihat keterbelakangan dan kemiskinan penduduk sedangkan dia sendiri hanya bisa tidur diranjang empuk dan menikmati masakan, sementara di luar sana ada banyak penduduk dusun yang hanya untuk membeli beras saja tak mampu. Itulah yang menjadikan konflik batin Wis .

Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyamandan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia bisa diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon agar diberi desempatan itu” (halaman 84)

Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun Sei kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana untuk membantu meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya dikabulkan oleh pastor kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya membantu warga tetapi juga terlibat dalam konflik-konflik yang dialami oleh penduduk.

Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian ditangkap. Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan dan tekanan yang luar biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat yang dituduh telah mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis dan SARA bahwa dia seorang komunis yang berkedok rohaniawan dilayangkan pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis mengaku dan membuat karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan yang dialamatkan pada dia semua itu.

Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri, sementara ia mendiga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (halaman 106)

Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang ceritayang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya sesungguhnyaadalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya.” (halaman 107).

Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun, sisksaan fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang dusun yang membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia rawat, tak tertolong ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis mengalami konflik batin akan keberadaan Tuhan yang selama ini dia percaya.

Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnyasebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi yang mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan tinggi.” (halaman 105).

Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-kali, pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja. Ia hanya berpikir. Tidak Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi……….”. (halaman 115)

Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan.padahal dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan.

Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang tertindas.

Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagiian orang mengira dia sudah matiketika disekap di pabrik…………………………………………………………

Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan Kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya.” ( halaman 117).


BAB V

PENUTUP

Pada bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian analisis pada BAB III, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Tokoh Wisanggeni atau Saman merupakan tokoh utama sekaligus tokoh protagonis. Karakter yang ia tunjukan memperlihatkan sebagai seorang yang selalu peduli terhadap kaum miskin dan tertindas. Kondisi sosial dan lingkungan selama belajar teologi mengajarkan untuk berbagi dan membantu terhadap kaum papa atau kaum miskin. Juga kenangan-kenangan masa kecilnya yang sangat mendalam akhirnya mengantarkan ia kembali ke tempat asal menghabiskan masa kecilnya, yang telah ia tinggalkan selama sepuluh tahun. Ditempat itulah (Perabumulih) rasa kepeduliannya diuji untuk menolong penduduk dusun yang serba kekurangan, terbelakang dan mengalami kemunduran sosial serta ekonomi di tengah-tengah hingar-bingar pembangunan yang tidak dapat mereka rasakan. Dengan segenap hati dan jiwa, Wis membantu tanpa pamrih hingga menyeretnya dalam konflik. Namun itu menjadikan dirinya menjadi sosok yang tegar, kuat dan bertekad bulat untuk mengabdikan dirinya kepada kaum papa dikemudian hari.

  2. Ketika persoalan ekonomi menghimpit. Orang akan menjadi lebih buas dan berani memangsa apapun. Karena faktor ekonomi yang timpang juga akhirnya menjadikan pertentangan dan saling berkelahi satu sama lain. Faktor kerakusan dari segelintir orang mengakibatkan kesengsaraan bagi kehidupan orang banyak. Pemerintah yang seharusnya menjamin pekerjaan yang layak dan sumber daya alam serta hak-hak rakyat ternyata tidak memihak. Pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan sosial, konflik antar kelas yang miskin dan yang kaya. Tidak akan mungkin terhindarkan jika pemerintah berlaku adil bagi semua pihak. Novel Saman adalah satu di antara sekian cerita tentang ketidakadilan tentang yang kaya dan yang miskin. Juga cerita lain mengenai bobroknya pemerintahan dalam mengurusi penduduk transmigarsi, yang diangkat dan disungguhkan ke Publik betapa pembangunan yang digembar-gemborkan ternyata tidak merata. Pembangunan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dan bukan rakyat terlebih-lebih jauh di desa. Ini dibuktikan bahwa listrik yang menjadi hak setiap orang belum sampai ke desa. Apakah ini bukan indikator bahwa pembangunan selama ini hanyalah akal-akalan dari pemerintah saja. Dalam novel Saman telah terbuktikan di antara fakta dan fiksi selama ini.

  3. Ungkapan “Muliakanlah Tuhan jangan dengan perut kosong” mungkin benar adanya. dan mungkin itu juga Wisanggeni seorang pastor muda dengan kegelisannya akhirnya Turín untuk membantu walau dirinya sendiri terancam. Dia tidak bisa tidur tidak bisa beribadah dengan tenang ketika diluir sana banyak yang kelaparan dan tertindas.dia berani melawan dogma yang selama ini mengurung hati manusia. Moralitas juga tersajikan apakah kita bisa tenang ketika kita melihat orang-orang diluar sana kelapara sedangkan kita beribadah. Apakah tidak terganggu kita lalu mana yang harus kita dahulukan. Saman telah memberikan contoh bahwa betapa ambigunya moralitas. Kondisi social, moral dan ekonomi yang akut bukan tidak mungkin menjadikan orang-orang yang peka seperti Wisanggeni untuk berani berubah meninggalkan segalanya demi membela apa yang dia rasa.



DAFTAR PUSTAKA


Amiruddin. 1990. Sekitar Maslalah Sastra. Madang : Yayasan Asih Asah Asuh.

Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Endraswara. Singgih. 1978. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Nurgiyantoro. Burhan. 2000. Teori Kajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.

Kutha Ratna. Nyoman.2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Relajar

Jonson. Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert M.Z. Lawang Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Yapi Taum. Joseph.1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah.

Marx. Kart & Engels. Frederick.1848. The Communist Manifesto.London: International Publisher.

Wellek. Renne & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


1 komentar:

aufklarung mengatakan...

saman rata saman rasa...