Konflik Sosial Dalam " Gadis Pantai "

Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok kepentingan. Thomas Hobbes, seorang filosof sosial terkemuka abad tujuh belas, mengemukakan tentang konflik yang bertolak dari keadaan alamiah masyarakat. Thomas Hobbes menyatakan:
Keadaan alamiah masyarakat manusia senantiasa di- liputi oleh rasa takut dan terancam bahaya kematian karena kekerasan. Kehidupan manusia selalu dalam keadaan menyendiri, miskin, penuh kekotoran dan ke- kerasan serta jangka waktu kehidupan pendek. Apabila manusia dibiarkan menanggung nasibnya sendiri, maka manusia akan menjadi korban keinginan merebut ke- kuasaan dan keuntungan, sehingga sebetulnya manusia dikuasai oleh motif-motif untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dalam menghadapi situasi yang secara potensial mengembangkan hasrat untuk berperang dan adanya konflik, perlu diciptakan suatu organisasi dan ketertiban sosial yang dapat dipelihara dengan baik.

Keadaan ekonomis keluarga Gadis Pantai memberikan poin utama konflik yang ada. Kakaknya telah meninggalkan keluarga Gadis Pantai yang disebabkan kecelakaan di laut. Hal itu biasa terjadi pada kehidupan masyarakat pinggir pantai. Seperti cerminan kehidupan kecil Gadis Pantai, bermain di pinggir pantai bersama anak-anak lain sebayanya. Padahal, emosional sanga bapak sering diluapkan kepada Gadis, anaknya.
Sifat yang cenderung mengarah pada kekerasan merupakan suatu sifat luapan, berupa emosional sang bapak kepada anak, dalamhal ini seperti yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, adanya ancaman kematian tersebut hadir ketika keluarga tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ketakutan itu memberikan dampak dari alam bawah sadar sang bapak. Tidak sedikit dalam kehidupan keluarga bermasyarakat saat ini ditemukan kekerasan terhadap anak di bawah umur, sesuatu yang didasarkan kurangnya pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan rumah tangga, sehingga memicu menghadirkan objek kekerasan yang lebih lemah dari diri sendiri.
Konflik bisa ditinjau dari aspek sosial dan politik. Konflik sosial bisa diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau pengakuan status, kekuasaan dan sumber daya langka. Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, teror- isme, dan revolusi. Dalam hal ini, keluarga menjual anaknya, Gadis Pantai, demi mendapatkan pengakuan sosial dalam masyarakat. Keluarga ingin mengangkat derajat sebagai keluarga yang hidup di ruang masyarakat tersebut. Tanpa adanya pengakuan derajat, cacian dan penghinaan akan menghampiri, melihat latar kehidupan keluarga Gadis Pantai merupakan keluarga yang tinggal dalam adat Jawa, sebuah adat yang kenta; dengan sistem feodal. Dari hal itulah, pengakuan masyarakat, dengan menyerahkan Gadis Pantai kepada seorang lelaki, Bendoro. Dalam konteks ini, konflik dikategorikan sebagai aspek sosial.
Hal lain dalam konflik dari aspek sosial adalah pengusiran Mbok, seorang pembantu yang menjadi tempat cerita Gadis Pantai, memaknai bahwa kekuasaan atau hegemoni penguasa tidak dapat diganggu, dalam konteks anatara majikan dengan pembantu. Pembantu akan selalu menuruti keinginan majikan karena ketegantungan hidup. Artinya, penguasaan kebutuhan pokok sang pembantu dikontrol oleh majikannya. Maka, ketika sang majikan, Bendoro, merasakan ada penghianatan secara otoritas kekuasaan mengusir Mbok yang berakibat tidak ada lagi tempat cerita Gadis Pantai. Kekuasaan merupakan salah satu fenomena politik yang penting. Kekuasaan merupakan sumber daya langka yang menjadi penyebab konflik. Orang yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang kekuasaan dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama.
Gadis Pantai adalah novel terbaik Pramoedya. Novel dengan setting daerah Lasem (Jepara) awal abad 19 ini berkisah tentang seorang gadis nelayan berumur 14 tahun yang dibawa orangtuanya untuk dijadikan “wanita utama” seorang “Bendoro” atau priyayi yang masih bangsawan. Di rumah tersebut, yang juga dihuni oleh para agus atau anak-anak lelaki dari para wanita utama sebelumnya (yang telah tidak ada lagi), gadis pantai dilayani oleh seorang wanita pelayan tua, yaitu mbok, yang menghibur kesedihannya karena jauh dari orang tua. Kemudian pada suatu hari uang gadis pantai hilang, sehingga mbok meminta para agus tersebut untuk mengakui bila telah mencuri uang gadis pantai yang hilang. Namun sebagai akibatnya mbok tersebut diusir, meskipun agus yang terbukti mencuri pun diusir pula.
Pengganti si mbok adalah seorang perempuan muda, Mardinah, anak seorang juru tulis, yang disini disebut tergolong priyayi. Pada suatu hari ketika menjenguk orang tuanya di desa nelayan, Mardinah yang mengantarkan gadis pantai ke desanya beberapa waktu kemudian kembali lagi dengan empat orang laki-laki dan memaksa gadis pantai untuk ikut, seolah-olah diminta pulang oleh Bendoro. Namun orangtua gadis pantai yang curiga kemudian berpura-pura seolah kampung nelayan tersebut sedang diserang bajak laut dan Mardinah dan pengikutnya dibawa mengungsi ke tengah laut dengan perahu. Disana pengikutnya dibunuh dan Mardinah tidak diberi tempat tinggal sehingga terpaksa menikah dengan salah seorang penduduk yang dianggap tidak waras. Ternyata Mardinah bermaksud melenyapkan gadis pantai karena ia telah berjanji kepada bangsawan lain untuk menjodohkan sang Bendoro suami gadis pantai dengan putrinya, dengan imbalan ia menjadi istri kelima bangsawan tersebut. Selanjutnya gadis pantai yang kembali ke rumah Bendoro melahirkan seorang bayi. Namun setelah tiga bulan gadis pantai dipaksa pergi meninggalkan bayinya setelah ayahnya yang terkejut atas keputusan Bendoro tersebut diberi sejumlah uang pembeli perahu. Gadis pantai yang hancur hatinya akhirnya tidak bersedia pulang dan memilih untuk berpisah dengan ayahnya yang menjemputnya pulang. Ia ingin membawa dirinya sendiri, dan pergi ke kota mbok pelayannya dulu.
Perjalanan hidup gadis pantai selanjutnya tentu akan sangat menarik. Sayangnya kita tidak akan pernah tahu kisah selanjutnya, karena naskah buku ke dua dan ke tiga novel ini telah dibakar oleh Orde Baru. Sayang sekali, karena pengungkapan kisah gadis pantai dalam buku ini sangat indah dan mengharukan. Namun Pramoedya pernah menyatakan tidak mungkin akan menulis lanjutan novel ini, antara lain karena faktor usia.
Keberpihakan Pram pada masyarakat kecil dan sinisme pada kaum feodal memang sangat nyata dalam novel ini. Sang bangsawan digambarkan rajin beribadah, pencinta kebersihan, bahkan menyatakan bahwa kaum nelayan kurang beriman, kotor, sehingga miskin, dan berdosa karena tidak beribadah. Namun di sisi lain digambarkan bahwa di balik kesalehannya berupa kerajinan bersembahyang, menunaikan haji sebanyak dua kali dan menyumbang pembangunan mesjid atau pengajian, sang Bendoro adalah lelaki kejam yang gemar mempermainkan perempuan muda golongan miskin untuk kesenangannya sendiri, yaitu mengambilnya sebagai istri, mengusirnya begitu saja jika sudah bosan, dan mengambil anaknya dari ibunya tanpa belas kasihan,. Lebih buruk lagi, perempuan golongan ini pun (priyayi) ikut mendukung sistem yang merendahkan perempuan itu sendiri. Selain itu, golongan feodal dan priyayi ikut membantu penjajah dalam menindas rakyatnya sendiri. Demikian buruknya gambaran kaum feodal dan priyayi dalam novel ini, serta betapa sia-sianya ritual agama karena toh tidak mempengaruhi pembentukan moral yang baik, sebaliknya rakyat miskin tidak bersalah apa-apa. Bahkan beranak banyak pun dianggap wajar saja, karena nasibnya sudah demikian buruk sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk keluar dari nasib buruk tersebut.
Bagi mereka yang merasa tertindas, selalu bekerja keras namun tetap miskin, mengalami diperlakukan tidak adil, novel ini mungkin akan semakin menyadarkan ketidakberuntungan mereka dan dapat menimbulkan kebencian terhadap kaum priyayi atau golongan yang lebih beruntung. Namun di Indonesia kini, bukan hanya rakyat miskin yang merasa bernasib sial (terkutuk menurut istilah dalam novel ini), priyayi dan kaum terpelajar serta berada pun merasa terkutuk memiliki pemimpin dan pemerintahan yang luar biasa korup dan tak bermoral serta rakyat kebanyakan yang kepasrahan dan ketidakpeduliannya tak terkira (yang dalam kemiskinan parah tetap bereproduksi tanpa batas namun mengharapkan pemerintah menanggung kesehatan, pendidikan dan pekerjaan anak-anak yang sebenarnya sebagian bisa dicegah kelahirannya) sehingga negeri ini tidak henti dirundung berbagai permasalahan berat.
Di luar hal-hal di atas, novel ini mampu menggambarkan kehidupan rakyat jelata dan kondisi sosial pada awal abad 20 dengan sangat menarik, lancar dan mengharukan. Gaya penuturan Pram yang wajar, realistis dan mengalir menghidupkan novel ini dan mengesankan pembacanya. Saya sungguh sedih dan menyesal harus mengakhiri membaca novel ini tanpa bisa mengetahui kelanjutan kisahnya
Selengkapnya...