ANALISIS KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK


ANALISIS KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK

DALAM NOVEL "SAMAN" KARYA AYU UTAMI

Tinjauan Sosiologi Sastra dan Marxis

Oleh: Amir baihaqi




BAB I

PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang

Runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dan lugas dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat experimental dengan menyuarakan kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra. Banyak karya sastra pada zaman orde baru yang dicekal dan dilarang bahkan untuk menyimpan atau sekadar membaca karena dianggap tidak sesuai dengan rezim. Mungkin itu sebabnya ketika orde baru tumbang dan Soeharto dipaksa turun dari singgasananya dan militer tak bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini buku-buku kiri yang tadinya dilarang dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan resiko hukuman penjara diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis (Anton Kurnia: 54-55,2004). Kini setelah reformasi orang bebas untuk membaca, memiliki, tanpa takut untuk dan sembunyi-sembunyi dan sekarang banyak kita jumpai serta diperjual-belikan di toko-toko buku. Novel-novel seperti karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh diantaranya, paling sering kena cekal dan dilarang terbit kini banyak kita temui di toko buku dan sangat menjamur.

Kondisi dan situasi itu tak lepas dari pasca reformasi 1998, juga pada munculnya para sastrawan, baik sastrawan yang sudah mempunyai nama maupun sastrawan baru memulai karir. Kondisi itu dimanfaatkan betul untuk mengekspresikan karya-karya mereka yang terinspirasi dari kondisi sosial selama orde baru sampai akhir keruntuhannya. Mulai dari karya sastra yang menyuarakan tentang penindasan perempuan atas laki-laki sampai penindasan rakyat atas pemerintahan. Selain faktor sosial dan politik dimasa orde baru, faktor pergantian generasi sastrawan juga turut mempengaruhi akan lahirnya para seniman dan sastrawan baru untuk berkreasi dan berkarya secara merdeka. Kebebasan yang dimiliki serta adanya Dewan Kesenian sebagai wadah atau fasilitas bagi seniman dan sastrawan turut menciptakan kegairahan dan kesemarakan untuk memunculkan kecenderungan bereksperimen pada para seniman dan sastrawan untuk memulai karir.


Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai karir dalam kesusastraan Indonesia. Namun awal berkarir bukan berarti karyanya tidak termasuk diperhitungkankan. Ini dibuktikan dengan karyanaya pertama berhasil sebagai pemenang sayembara serta mendapat penghargaan. Novel Saman karya pertamanya adalah pemenang sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1999. Juga penerima perhanghargaan atas karyanya yang dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakat. Ia mendapat penghargaan dari Price Claus Award dan Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia). Demikian juga Novel Saman telah diterjemahkan dalam enam bahasa asing; Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Perancis dan Czech. Dengan alasan itulah penulis sangat tertarik untuk menganalisis novel Saman karya Ayu Utami.

Novel Saman sendiri sebenarnya berjudul “Laila tak Mampir ke New York” dan direncanakan sebagai fragmen dari novel pertama. Namun dari pengerjaan subplot berkembang melalui rencana semula dan menjadi novel terpisah dengan judul “Saman”. Novel lanjutan dari Saman terbit ditahun 2001 berjudul “Larung” sebagai lanjutan Saman.

Novel Saman menceritakan tentang seorang pastor muda dan empat perempuan yang bersahabat Sejak kecil yaitu Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laila. Sebelum dikenal dengan nama Saman dia dikenal dengan nama Wisanggeni (Wis) Seorang pastor muda yang mendapat tugas dari Uskup sebagai pastor paroki parid yang melayani di suatu kota kecil Perabumulih dan Karang Endah Palembang. Di kota perabumulih Pastor muda Wisanggeni banyak berinteraksi dan kenal dengan penduduk sekitar yang ternyata kebanyakan adalah kaum transmigran yang bekerja sebagai buruh perkebunan karet. Kondisi para penduduk transmigran seperti digambarkan oleh Wisanggeni jauh dari sejahtera dan masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan serta keterbelakangan di balik hingar bingar kota-kota maju.

Konflik terjadi ketika penduduk transmigran sebagai buruh perkebunan karet dengan pengusaha atau pemilik modal yang menginginkan perkebunan karet dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan cara membeli paksa tanah perkebunan penduduk dengan harga Sangat murah. Dari konflik ini, Pastor Wis dilanda kesedihan dan kegelisahan untuk membela penduduk transmigran dan menyeret dia pada konflik dengan petugas dan aparat pemerintah. Dengan tuduhan telah menghasut penduduk transmigran untuk membuat rusuh dan pembakaran.

Setelah tertangkap dan dijebloskan ke penjara serta mengalami penyiksaan. Wis berhasil dikeluarkan dari penjara. Namur setelah bebas bukan berarti Wis lepas dari incaran dan mata-mata aparat. Dari kondisi itu akhirnya Wis menghilangkan jejak dan mengganti identitasnya dengan nama samaran yaitu Saman, untuk mengelabuhi aparat dan petugas yang terus mengincarnya.


    • Rumusan Masalah

  • Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
  • Bagaimanakah karakter tokoh utama, Wisanggeni (Saman)?

  • Bagaimanakah konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Saman?

  • Konflik apa saja yang dialami Wisanggeni (Saman)?

    • Tujauan Masalah

  • Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini memiliki tujuan :
  • Mengetahui karakter tokoh utama, Wisanggeni (Saman).

  • Mengetahui konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Saman.

  • Mengetahui konflik yang dialami Wisanggeni (Saman).
    1. Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu sosial khususnya sosiologi sastra. Secara praktis penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra dalam mengapresiasi novel-novel Indonesia, khususnya dalam hal ini novel Saman karya Ayu Utami.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra untuk menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan dibutuhkan suatu kritik.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk menganalisis novel Saman. Namun wilayah sosiologi sastra sangat luas. (Wellek dan Warren (1993:111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu;

  1. Sosiologi Pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideology politik dll, yang menyangkut diri pengarang.

  2. Sosiologi karya Sastra: yakni yang mempermasalahkan tentang suatu karya sastra apa yang tersirat dalam suatu karya sastra dan tujuan atau amanat yang hendak ingin disampaikan.

  3. Sosiologi Sastra: yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Sedangkan Umar Junus (1986:3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:

  1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.

  2. Penelitian mengenai pengasilan dan pemasaran karya sastra.

  3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya.

  4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.

  5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan

  6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni termasuk sastra.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang keempat, yakni pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra atau pendekatan Marxis yang berhubungan dengan konflik antar kelas atau pertentantangan kelas antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal/pengusaha.



BAB III

METODOLOGI PENELITIAN


    1. Metode Penelitian

Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah, dan prosentase agar mudah dipahami dan disimpulkan.

    1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra khususnya teori Marxis.

    1. Sumber Data

Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Saman karya Ayu Utami. Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 1998.

    1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian berupa data primer (novel Saman) dan data sekunder, data ini diperoleh dari beberapa buku lain.



BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Karakter Wisanggeni/Saman.

Athanasius Wisanggeni sebelum memakai nama Saman adalah seorang anak muda yang baru saja menamatkan sekolah teologi di Driyakarya dan belajar di Institut Pertanian Bogor. Setelah Wisanggeni menamatkannya, acara sakramen presbiterat dan pembacaan kaul dan pelantikan dilaksanakan. Sejak saat itu orang-orang memanggil dia Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Tugas untuk melayani umat dimanapun dan kapanppun telah siap diemban Wis. Namun dalam hati kecil Wis, dia sangat berharap ditempatkan di pedalaman Perabumulih. Dia merasa banyak yang bisa dikerjakan disana, sebab dia adalah lulusan Institut Pertanian. Mayoritas penduduk Perabumulih sendiri bekerja di perkebunan karet.

Bagi Wis Perabumulih bukan tempat asing. Masa kecilnya pernah merasakan di Perabumulih karena Bapaknya pernah bekerja dinas sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia cabang Perabumulih. Disana juga dia mendapatkan pengalaman yang aneh, suatu pengalaman yang tidak pernah ia ceritakan bahkan pada Ayahnya sendiri. Pengalaman tentang roh-roh yang ada disekitarnya. Yang dianggap Wis adalah roh-roh adiknya yang telah lama tiada. Dari alasan itu mengapa Wis ingin sekali ditugaskan ke Perabulih tempat dimana ia mempunyai ikatan yang sangat erat sejak kecil. Kesempatan untuk ditugaskan ke Perabumulih akhirnya datang dan dikabulkan oleh Keuskupan.

Setelah sepuluh tahun akhirnya Wis datang lagi ke Perabumulih walau menurut Wis sendiri tempat itu tak banyak berubah. Perasaan tentang adik-adiknya yang telah lama tiada membuka kembali akan kenangan tentang masa lalunya. Perasaan pahit dimana Ibunya yang dikasihinya yang juga mengasihinya telah lama meninggal bercampur dengan rasa keingintahuan selama ini tentang Perabumulih selama sepuluh tahun yang telah ditinggalkannya.

Setelah beberapa hari dan beberapa minggu dengan kegelisahan dan kesedihan, apa yang tak pernah dia saksikan keterbelakangan dan kemiskinan penduduk, membuat Wis bertekad untuk mengabdikan hidupnya dengan orang-orang di desa transmigran Sei Kumbang yang berjarak tujuh puluh kilometer dari Perabumulih.

Di Sei Kumbang juga Wis memutuskan untuk membantu meringankan penderitaan gadis yang dianggap gila. Sikap rasa peduli dan keibaan terhadap orang-orang di Sei Kumbang ini, akhirnya dia meminta izin dari pastor kepala Perabumulih agar direstui untuk membantu penduduk Sei Kumbang dan di berjanji akan membagi tugas antara kepastoran parokial dan membantu penduduk di perkebunan karet.

4.2. Konflik Sosial dan Politik.

4.2.1. Definisi Konflik

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 1989: 285). Dua kelas ini satu sama lain tidak bisa saling menyesuaikan kehendak, usaha dan maksud-maksudnya. Kelas buruh berusaha untuk mencukupi kehudupan diri dan keluarganya, berikhtiar supaya mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi kelas majikan berusaha mencari keuntungan dari perusahaannya (perkebunan)dan mereka akan mendapat untung bila orang-orang yang menjadi buruhnya bisa memberi keuntungan, misalnya mereka senang (buruh) mendapat upah rendah, suka bekerja berat, dan sebagainya (Semaoen, 2000: 32)

4.2.2. Macam-macam Konflik

Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:124) konflik dibedakan menjadi dua kategori, yaitu konflik internal dan eksternal.

  1. Konflik internal atau kejiwaan adalah konflik yang terjadi dalam hati jiwa seorang tokoh cerita. Jadi konflik ini adalah konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri.

  2. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu dengan di luar dirinya. Konflik eksternal ini oleh Jones (1968:30) dibedakan dalam dua kategori lagi, yaitu konflik fisik dan konflik sosial;

    1. Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan oleh adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam.

    2. Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia.

Sedangkan konflik dalam novel Saman mengacu pada konflik eksternal khususnya pada konflik social penduduk Sei Kumbang, yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Stara konflik ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elite yang biasa disebut lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota , pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan, bodoh tradisional, dan tidak bergairah di dalam mengikuti perubahan-perubahan (Naisikun, 1984: 70). Meskipun begitu konflik internal juga dialami oleh tokoh utama juga ketika dia menanyakan tentang keberadaan Tuhan.

  • Semakin kuat watak komoditi dalam pertanian, maka semakin besar jarak yang memisahkan petani dengan pasar, dan semakin besar pula ketergantungan petani pada pedagang yang berfungsi sebagai perantara. Pedagang yang menemukan tempatnya diantara produsen dan konsumen, menghasilkan modal dagang (Merchant Capital). Seiring dengan kemunculan pedagang, muncul pula lintah darat yang meminjamkan uang pada masa paceklik kepada petani, dan yang menciptakan dasar bagi eksploitasi modal lintah darat (User Capital). Dengan demikian proses ini membuat kecenderungan teraleanisasi petani pada tanahnya sendiri (Bonnie Setiawan,1944;41) dalam novel Saman, ini ditunjukan ketika petugas perkebunan memergoki para penduduk Sei Kumbang menjual getah karet lateks pada tengkulak karena menawar lebih tinggi dan datang sambil mengutangi beras dan kebutuhan petani.

Maka mereka lebih memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan datang dengan mengutangi beras serta kebutuhan tani” (halaman 82).

  • Petani di Sei Kumbang dianggap oleh PTP perseroan yang mengelola perkebunan karet berhutang kepada PTP atas benih, pupuk dan pembukaan lahan transmigrasi yang ditanggung oleh PTP. Sebagai angsuran hutang lima sampai sembilan juta, maka penduduk wajib menjual hasil perkebunan kepada PTP. Bersamaan dengan ini meningkat pula pembayaran tunai dari tuan tanah kepada petani yang menyebabkan pergantian pembayaran dari bentuk barang (payment in kind) kepada pembayaran tunai (payment in cash) dan dengan demikian meningkatkan tingkat pembayaran secara umum, sementara itu petani hanya sanggup membayar secara tunai dengan cara menjual hasil produksinya (Bonnie Setiawan, 1999; 40). Jelas ini Sangat membebani penduduk transmigrasi Sei Kumbang akibatnya banyak penduduk tidak mampu untuk sekedar membeli beras.

Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang” (halaman 81).

  • Teror terhadap penduduk semakin gencar agar tanah mereka dijual ke perseroan baru pengganti PTP yang bangkrut. Teror dan intimidasi dilakukan pertama-tama dilakukan dengan menjebol rantai rumah Upi gadis gila yang dirawat Wis lalu disusul dengan merusak dan merobohkan kincir angin yang dibuat Wis dan penduduk sebagai rumah asap dan pembangkit listrik mini bagi penduduk Sei Kumbang karena di tempat itu Belum teraliri listrik. Tak hanya para penduduk yang merasa sedih, tapi Wis juga teramat terpukul.

Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt. Dusun yang kini terdiri sekitar delapan puluh rumah dan langgar itu telah diterangi lampu dan diramaikan bunyi radio. Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini menara kincir itu dirobohkan” (halaman 91).

  • Borjuasi senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alatproduksi dan telah mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sudah dari hal ini adalah pemusatan politik.... sebagai gantinya datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselenggarakan dengannya, dan dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis (Marx & Engel; 1848).Karena itu PTP sebagai persero yang berwenang di Sei Kumbang terus merugi akhirnya PTP menyerakan ke perusahaan lain PT Anugerah Lahan Makmur, yang akan mengubah dusun Sei kumbang menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun rencana ini ditolak oleh penduduk desa, lebih-lebih Wis yang menganggap lahan ini milik penduduk dan perkebunan karet dibuka untuk petani bukan perusahaan.

Kami melihat bahwa dusun ini (Sei Kumbang) saja yang belum patuh untuk menanda tangani kesepakatan dengan perusahaan.” (halaman 92)

Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini lalu menyerahkan ke perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit” (halaman 93).

  • Keempat petugas yang datang memberitahu penduduk gagal untuk membujuk agar mematuhi kesepakatan pergi dengan mengancam akan menggusur perkebunan karet milik penduduk dengan buldózer.

Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanamnya. Jika dalam sebulan tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu”. (halaman 93).

  • Penggusuran dusun yang pernah diancamkan oleh para petugas atas perintah Gubernur memang tertunda berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Namun perusahaan baru menggunakan teror dan intimidasi terhadap warga yang jauh lebih mengerikan. Puncaknya adalah ketika mereka merobohkan pohon-pohon karet dan oknum satpam suruhan perusahaan kebun memperkosa istri Anson di rumahnya, ketika Anson dan para warga sedang berkumpul untuk membahas perkebunan mereka.

  • Ia telah dengan tiada kenal kasihan telah merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka ragam yang mengikat manusia pada atasannya yang wajar dan tidak meninggalkan ikatan antar manusia dengan manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata selain daripada pembayaran tunai yang kejam (Marx & Engel;1848) Penduduk dengan spontan mengejar pelaku dan berhasil membunuh dari salah satu pelaku. Anson yang begitu geram memimpin warga untuk meyerang dan membakar pos. Wis tak sanggup menceggah kemarahan penduduk itu terutama Anson. Sementara para warga khususnya Ibu-ibu dan anak perempuan dikumpulkan di surau. Tak lama setelah para warga laki-laki pergi meyerbu pos datang tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka. Petugas akhirnya menangkap Wis, sementara dusun Sie Kumbang dibakar mulai dari rumah asap dan rumah-rumah penduduk.

Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia (Wis ) menjerit teringat Upi yang belum Ia sempat gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya (Upi). Tapi dua orang dengan seragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada dan pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangnnya sebelum ia sempat mengerang nyeri.” (halaman 104).

Dari pemaparan konflik sosial dan politik yang terjadi antara penduduk Sei Kumbang. Ketika memutuskan menjadi transmigran mungkin mereka berharap agar kehidupan mereka lebih baik daripada di tempat asalnya. Namun kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Awal dari pembukaan lahan mereka telah menanggung hutang yang tak pernah mereka bisa bayar terhadap perusahaan yang mengutangi. Yang seharusnya tanah dan perkebunan mereka bisa dimanfaatkan dan menjadi sumber penghidupan di monopoli oleh perseroan yang telah menghutangi mereka. Disini juga kita bisa melihat betapa miskin dan keterbelakangannya penduduk di Sei Kumbang. Ini bisa dilihat listrik belum masuk dusun mereka. Padahal jarak dusun ke Perabumulih yang menjadi kota minyak hanya tujuh puluh kilometer.


4.2.3. Konflik menurut Teori Marxis

Salah satu dari kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap masyarakat dimana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan materil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. (Paul Johnson, 1994; 46)

Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan mencerminkan pola hubungan ekonomi, karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada dalam masyarkat. Oleh karena itu karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986: 24-25). Untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas, evolusi tidak berjalan dengan mulus melainkan penuh dengan hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat tanpa kelas yang dikuasai oleh kaum proletar (buruh).

Dari pemaparan di atas bahwa konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Sehingga untuk sekedar bertahan hidup mereka menjual hasil kebun kepada tengkulak. Namun dari sinilah konflik dimulai ketika perusahaan berganti. Penduduk dipaksa untuk menanam kelapa sawit di bawah ancaman agar mau menuruti kepentingan perusahaan yang baru.

Kita lihat juga bagaimana kepentingan politis Gubernur sebagai kepala daerah yang seharusnya membela hak-hak para buruh kebun karet, tapi akhirnya mereka dikorbankan oleh Gubernur demi kepentingan penanaman kelapa sawit dan segelintir orang (pemilik modal). Teror dan intimidasi akhirnya membuat para penduduk melawan kesewenangan dari perusahaan. Tentu mereka kalah karena petugas dan aparat telah siap merepresif mereka.

Inilah yang disebut Marx sebagai pertentangan kelas, antara kelas proletar (buruh) dengan perusahaan (pemilik modal), akibat dari faktor hubungan-hubungan ekonomi yang timpang, pada akhirnya menimbulkan permusuhan dan pertentangan kelas yang akan dimenangkan oleh kelas tertentu.

4.3. Konflik Wisanggeni/Saman.

Seperti yang diketahui dalam pembahasan sebelumnya, sosok Wisanggeni adalah sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang oleh dia dianggap tidak wajar. Jiwa sosialnya akan tergerak dan ikut membantu jika dirasa itu sangat mengusik hatinya. Ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi penduduk dusun Sei Kumbang dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu sangat mengganngu jiwanya untuk turut membantu.

Setiap malam Wis selalu memikirkan dan gelisah serta selalu bergelut dengan batinnya sendiri. Lalu pada suatu saat ia memberanikan diri untuk berbicara kepada pastor kepala Pater Westenberg mengajukan diri agar ia diberi ijin untuk membantu warga di Sei Kumbang. Karena keterlibatan Wis terhadap Warga Sei Kumbang Wis sering meninggalkan tugas parokialnya. Merasa mendapat teguran dari pator kepala Wis meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dialami dan yang ia kerjakan. Bahwa dia tidak bisa melihat keterbelakangan dan kemiskinan penduduk sedangkan dia sendiri hanya bisa tidur diranjang empuk dan menikmati masakan, sementara di luar sana ada banyak penduduk dusun yang hanya untuk membeli beras saja tak mampu. Itulah yang menjadikan konflik batin Wis .

Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyamandan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia bisa diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon agar diberi desempatan itu” (halaman 84)

Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun Sei kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana untuk membantu meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya dikabulkan oleh pastor kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya membantu warga tetapi juga terlibat dalam konflik-konflik yang dialami oleh penduduk.

Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian ditangkap. Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan dan tekanan yang luar biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat yang dituduh telah mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis dan SARA bahwa dia seorang komunis yang berkedok rohaniawan dilayangkan pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis mengaku dan membuat karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan yang dialamatkan pada dia semua itu.

Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri, sementara ia mendiga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (halaman 106)

Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang ceritayang sebelumnya tak pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya sesungguhnyaadalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya.” (halaman 107).

Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun, sisksaan fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang dusun yang membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia rawat, tak tertolong ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis mengalami konflik batin akan keberadaan Tuhan yang selama ini dia percaya.

Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak menebusnyasebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi yang mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan tinggi.” (halaman 105).

Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-kali, pemuda itu memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja. Ia hanya berpikir. Tidak Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi……….”. (halaman 115)

Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan hanya konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan.padahal dia adalah seseorang yang pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya tentang Tuhan.

Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis. Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang tertindas.

Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagiian orang mengira dia sudah matiketika disekap di pabrik…………………………………………………………

Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan Kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas dibenaknya.” ( halaman 117).


BAB V

PENUTUP

Pada bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian analisis pada BAB III, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Tokoh Wisanggeni atau Saman merupakan tokoh utama sekaligus tokoh protagonis. Karakter yang ia tunjukan memperlihatkan sebagai seorang yang selalu peduli terhadap kaum miskin dan tertindas. Kondisi sosial dan lingkungan selama belajar teologi mengajarkan untuk berbagi dan membantu terhadap kaum papa atau kaum miskin. Juga kenangan-kenangan masa kecilnya yang sangat mendalam akhirnya mengantarkan ia kembali ke tempat asal menghabiskan masa kecilnya, yang telah ia tinggalkan selama sepuluh tahun. Ditempat itulah (Perabumulih) rasa kepeduliannya diuji untuk menolong penduduk dusun yang serba kekurangan, terbelakang dan mengalami kemunduran sosial serta ekonomi di tengah-tengah hingar-bingar pembangunan yang tidak dapat mereka rasakan. Dengan segenap hati dan jiwa, Wis membantu tanpa pamrih hingga menyeretnya dalam konflik. Namun itu menjadikan dirinya menjadi sosok yang tegar, kuat dan bertekad bulat untuk mengabdikan dirinya kepada kaum papa dikemudian hari.

  2. Ketika persoalan ekonomi menghimpit. Orang akan menjadi lebih buas dan berani memangsa apapun. Karena faktor ekonomi yang timpang juga akhirnya menjadikan pertentangan dan saling berkelahi satu sama lain. Faktor kerakusan dari segelintir orang mengakibatkan kesengsaraan bagi kehidupan orang banyak. Pemerintah yang seharusnya menjamin pekerjaan yang layak dan sumber daya alam serta hak-hak rakyat ternyata tidak memihak. Pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan sosial, konflik antar kelas yang miskin dan yang kaya. Tidak akan mungkin terhindarkan jika pemerintah berlaku adil bagi semua pihak. Novel Saman adalah satu di antara sekian cerita tentang ketidakadilan tentang yang kaya dan yang miskin. Juga cerita lain mengenai bobroknya pemerintahan dalam mengurusi penduduk transmigarsi, yang diangkat dan disungguhkan ke Publik betapa pembangunan yang digembar-gemborkan ternyata tidak merata. Pembangunan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dan bukan rakyat terlebih-lebih jauh di desa. Ini dibuktikan bahwa listrik yang menjadi hak setiap orang belum sampai ke desa. Apakah ini bukan indikator bahwa pembangunan selama ini hanyalah akal-akalan dari pemerintah saja. Dalam novel Saman telah terbuktikan di antara fakta dan fiksi selama ini.

  3. Ungkapan “Muliakanlah Tuhan jangan dengan perut kosong” mungkin benar adanya. dan mungkin itu juga Wisanggeni seorang pastor muda dengan kegelisannya akhirnya Turín untuk membantu walau dirinya sendiri terancam. Dia tidak bisa tidur tidak bisa beribadah dengan tenang ketika diluir sana banyak yang kelaparan dan tertindas.dia berani melawan dogma yang selama ini mengurung hati manusia. Moralitas juga tersajikan apakah kita bisa tenang ketika kita melihat orang-orang diluar sana kelapara sedangkan kita beribadah. Apakah tidak terganggu kita lalu mana yang harus kita dahulukan. Saman telah memberikan contoh bahwa betapa ambigunya moralitas. Kondisi social, moral dan ekonomi yang akut bukan tidak mungkin menjadikan orang-orang yang peka seperti Wisanggeni untuk berani berubah meninggalkan segalanya demi membela apa yang dia rasa.



DAFTAR PUSTAKA


Amiruddin. 1990. Sekitar Maslalah Sastra. Madang : Yayasan Asih Asah Asuh.

Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Endraswara. Singgih. 1978. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Nurgiyantoro. Burhan. 2000. Teori Kajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.

Kutha Ratna. Nyoman.2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Relajar

Jonson. Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert M.Z. Lawang Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Yapi Taum. Joseph.1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah.

Marx. Kart & Engels. Frederick.1848. The Communist Manifesto.London: International Publisher.

Wellek. Renne & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Selengkapnya...

QUOTATIONS


VOX POLULI VOX DEI.
(Suar Rakyat adalah Suara Tuhan)

Satu, dua, dan tiga
Milih gak milih, itu hak gue.
(Satu, dua, dan tiga: Wiji Tukul)

There’s a sign on the wall
But she wants to be sure
’cause you know sometimes words have two meanings.
(Stairway to Heaven – Led Zeppelin) Selengkapnya...

ANALISIS SEMIOTIKA PADA JARGON DAN MOTTO KAMPANYE CAPRES CAPWAPRES DALAM PILPRES 08 JULI 2009

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Di dalam negara yang menganut demokrasi pemilihan umum adalah syarat mutlak untuk menentukan arah dan nasib bangsa yang diamanatkan pada orang-orang pilihan. Pada tanggal 8 juli 2009 mendatang rakyat indonesia untuk kedua kalinya (setelah pemilu 2004) akan menentukan pilihannya langsung memilih presiden dan wakil presiden setelah melewati pemilhan legislatif . tentunya jika ada pemilihan tentu ada masa kampanye para kandidat untuk merebut hati dan suara rakyat melalui program dan janji-janji manis jika mereka kelak terpilih nanti. 
Masa kampanye telah dimulai dan seperti yang pernah kita tahu, spanduk, baliho, bendera dan poster serta reklame dari ukuran kecil sampai ukuran jumbo banyak menjamur di tiap pojok dan pinggir jalan, serta tak lupa janji dan jargon yang menjadi ciri khas dari masing-masing pasangan capres dan cawapres. Hari sabtu 16 Mei 2009, resmi sudah 3 pasang Capres-Cawapres yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden Juli 2009 mendatang sudah mendaftarkan diri ke KPU. Semuanya hadir ke kantor KPU dengan modifikasi gaya yang disesuaikan dengan konsep masing-masing. Televisi melaporkan kejadian tersebut, bahkan ada yang secara langsung.
Dari masing-masing tiga pasangan Capres dan Cawapres terpilih pada Nomor urut satu sesuai hasil undian KPU Megawati Soekarno Putri dengan Prabowo Subianto Djoyohadiusumo disingkat dengan MEGA-PRO, yang diusung oleh PDIP dan partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya. Pada Nomor urut dua duet Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan Boediono atau SBY – Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat sebagai Partai pemenang pemilu Legislatif kemarin dan partai hijau atau partai-partai yang memperoleh suara yang tidak terlalu signifikan pada pemilu legisatif kemarin. Boediono sendiri bukanlah orang partai namun dia dari kalangan ekonom mantan pejabat di BI (Bank Indonesia) serta Mentri Keuangan. Sedangkan seperti yang kita ketahui SBY adalah calon incumbent disamping Jusuf Kalla. Pada urutan terakhir Nomor tiga ditempati oleh pasang Incumbent juga oleh Wapres Jusuf Kalla dan Wiranto atau biasa disingkat dengan JK-Win yang didukung oleh partai Golkar dan Partai Hanura.
Dari ketiga pasangan capres dan cawapres ini tentu telah mempunyai tim sukses untuk memenangkan pemilihan presiden yang sudah didepan mata kita. Kampanye juga sudah digelar. Yang menarik jika kita amati adalah dari ketiganya ini masing-masing mempunyai motto dan jargon yang mereka gembar-gemborkan selama kampanye dan banyak menghiasi di pinggir-pinggir jalan. Semangat membaa indonesia menuju ke lebih baik untuk bisa lepas dari kemiskinan yang masih membelit, sampai pada sembako murah dan tentang ekonomi kerakyatan yang pro terhadap rakyat mereka tawarkan. Sedangkan dari calon incumbent SBY dan Jusuf Kalla tidak kalah sengitnya dalam persaingan untuk merebut suara dengan saling klaim bahwa keberhasilan pemerintahan selama ini takepas dari pera masing. Ini tercermin dari jargon dan motto kampanye yang mereka pakai selama masa kampanye.  
Dari pasangan Mega-Pro identik dengan jargon-jargon kerakyatan atau “menuju Indonesia yang lebih baik”. Sedangkan dari calon Incumbent SBY-Boediono masih percaya dengan motto bahwa apa yang menjadi hasil pemerintahan sekarang masih dan layak untuk dilanjutkan dengan motto “terus berjuanguntuk rakyat, Lajutkan”. Sedangakan daari kubu JK-Win tidak kalah sengit yang beranggapan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Tak ragu-ragu memakai slogan “Lebih cepat lebih baik”. Namun dibalik semua kata-kata jargon dan motto para kandidat itu. Apakah memang benar akan mereka wujudkan atau appakah hanya janji-janji manis belaka. Lalu bagaimana dengan rakyat setelah itu?
Ada anggapan bahwa rakyat sekarang sudah cerdas memilih. Ada juga naggapan bahwa memang selama ini rakyat hanya dibutuhkan ketika masa pemilu tapi ketika berkuasa janji-janji seakan hilang dan tak pernah terealisasi dan rakyat terpinggirkan lagi. Jargon dan motto mereka seperti hilang tanpa bekas. Rakyat masih tetap bergelut dengan kemiskinan, kesulitan mendapatkan pekerjaan serta barang-barang kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal. Belum lagi ketakutan akan penggusuran bagi orang kelas bawah yang ada dikota juga kenaikan BBM yang biasanya diikuti oleh kenaikan disegala bidang kebutuhan rakyat kecil.
Untuk itu, sebelum memilih kita harus jeli dalam menilai tepat orangnya. Karena nasib bangsa dan negara ada ditangan pilihan rakyat. Jangan lagi memilih kucing di dalam karung. Dalam hal ini penulis ingin melakukan penelitian karena terdorong untuk mengetahui jargon dan motto para capres dan cawares apakah memang benar seperti itu atau hanyalah omong kosong untuk merebut suara rakyat. Untuk menganalisis jargon dan motto penulis akan memakai teori semiotika sebagai landasan teorinya. Serta analisis relevansi makna dengan kondisi dan isu-isu sosial yang selama ini terjadi. Serta kaitannya dengan situasi politik yang ada.
Tentunya kita semua berharap Pilpres yang akan digelar 8 Juli mendatang akan berjalan dengan baik dan lancar serta LUBER. Serta terpilihnya pemimpin yang selalu berpihak terhadap rakyat, dan kemudian dari itu akan membawa rakyat yang adil dan sejahtera yang selama ini diiadam-idamkan. Semoga saja. 

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah makna yang terkandung dalam slogan dan motto kampanye capres dan cawapres dalam pilpres 2009 melalui (a) ikon (b) indeks dan (c) simbol?
2.Bagaimanakah relevansi makna slogan dan motto dengan realitas sosial yang ada?

1.3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini memiliki tujuan :
1.Mengetahui makna yang terkandung dalam slogan dan motto kampanye capres dan cawapres dalam pilpres 2009 melalui (a) ikon (b) indeks dan (c) simbol 
2.Mengetahui relevansi makna slogan dan motto dengan realitas sosial yang ada

1.4.Manfaat Penelitian
  Temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dan teoritis. Secara teoritis hasil penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu bahasa khususnya semiotika. Sedangkan teoritis diharapkan masyarakat dan para pembaca mampu mengetahui makna yang terkandung dalam jargon dan motto ketiga pasangan capres dan cawapres. Dan diharapkan sebagai acuan untuk untuk memilih dalam pilpres mendatang.




BAB II
LANDASAN TEORI
Semiotika berasal dari kata Yunani “Semion” yang berarti tanda. Menurut Pialang, semiotika sebagai metode kajian dalam berbagai cabang keilmuan dimungkingkan karena kecenderungan untuk memandang wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengankata kata lain bahasa dapat dijadikan model dalam berbagai wacana sosial maupun politik. Berdasarkan Semiotika bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya juga dapat di pandang sebagai tanda. Hal ini di mungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri  
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign) berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah suatu bagi seseorang berarti sesuatu bagi yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat di amati atau dibuat teramati dapat di sebut tanda. Karena itu tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda.
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda di sana ada system. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempuanyai dua aspek yang di tangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified bidang petanda atau konsep atau makna.
Tanda kan selalu mengacu pada (mewakili) suatu hal (benda) yang lain di sebut referent seperti lampu merah yang mengacu pada jalan berhenti.
Dua tokoh Semiotika yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Semiologi menurut Sassure pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda di belakangnya harus ada sistem perbedaan dan konvensi yang memungknkan makna itu. Dimana ada tanda disitu ada sistem. Sedangkan bagi Pierce ilu yang dibangunnya sebagai semiotika (semiotic). Bagi Pierce penalaran manusia senantiasa lewat tanda. Artinya manusia hanya dapt bernalar dengan tanda (Berger 2000:10) 
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah suatu yang dapat mewakili suatu yang lain dalam batasan tertentu. Tanda akan selalu mengacu pada suatu yang lain, oleh pierce disebut objek (detotatum). Tanda baru berfungsi bila di interpretasikan dalam bentuk penerima tanda melalui inetrpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Hubungan ketiga unsur yang ditemukan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotic (tryadic semiotic).
Dalam teori Pierce kemudian dibagi menjadi beberapa tanda agar bisa dikenal yaitu:
Ground adalah sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce tanda (ground) dibagi menjadi;
1)Qualisign adalah kualitas yag ada pada tanda.
2)Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda misal kata keruh pada kata “air sungai keruh” yang menandakan bahwa ada hujan pada di hulu sungai. 
3)Legisign adalah normal yang dikandung oleh tanda, misal rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
sedangkan berdasarkan objeknya, pierce membagi tanda menjadi tiga segitiga semiotic (tryadic semiotic); Icon, Indeks, Symbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contih indeks adalah tanda panah penujuk arah bawah di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Symbol adalah tanda yang di akui keberadaannya berdasarkan hokum konvensi. Contoh symbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, dan symbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent), dan konsep (interpretant atau reference). 
Bentuk (slogan dan motto) biasanya menimbulkan persepsi pembaca (masyarakat) terhadap pasangan capres dan cawapres sehingga setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan (pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda) . Proses ini merupakan proses kognitif yang terjadi dalam memahami pesan jargon dan motto dalam iklan capres dan cawapres .
Dalam penelitian, penulis ingin ingin mengungkapkan makna maupun simbol-simbol dari suatu teks. Menurut Endraswara (2003 : 161 menegaskan bahwa tujuan dari analisis isi ialah inferensi yang diperoleh melalui identifikasi maupun penafsiran . untuk menganalisis jargon dan motto kampanye capres dan cawapres ini akan didasarkan pada semiotik Charles Sanders Pierce. Berdasarkan konsep tryadic Charles Sanders Pierce, melalui ikon, indeks dan simbol dan tentunya akan berlanjut pada eksplorasi makna berkelanjutan dengan fakta dan realitas sosial yang ada. 



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggnakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah,dan presentase agar mudah dipahami dan disimpulkan.
3.2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan semiotika untuk mengetahui makna yang terkandung dalam jargon dan motto capres dan cawapres
3.3. sumber Data
Karena berupa jargon dan motto, data diperoleh dari surat kabar, iklan di televisi serta survey langsung di jalan-jalan raya tempat baliho dan spanduk serta bendera. 
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan teknik penelitian berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber buku dan surat kabar.










BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Ikon, Indeks, dan Simbol dalam jargon dan motto kampanye Capres dan Cawapres 2009
Makna yang muncul dari jargon dan motto kampanye Capres dan Cawapres yang dikaji, memberikan pengertian dasar dari interpretasi secara semiosis dapat ditemukan lewat analisis triyadic dan pembedahannya dari masing-masing pasangan Capres dan Cawapres. Dalam hal ini (jargon dan motto) karena sebagai instrument kampanye pilpres tentu sasarannya adalah rakyat/masyarakat yang menjadi objek untuk memperebutkan simpati dukungan dan suara dalam pilpres. Selanjutnya dapat dilihat tabel berikut: 

Krisis global yang sedang melanda perekonomian negara-negara di dunia disamping kemiskinan serta korupsi yang sudah mengakar nampaknya masih menjadi isu untuk merebut suara rakyat dalam pemilu (pileg) maupun pilpres 8 Juli 2009 sebagai janji untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan lebih baik. Akibat sistem ekonomi yang neoliberalis yang dianut mengakibatkan krisis global. Isu tentang agen neoliberalisme juga menjadi gencar disuarakan untuk saling menyerang diantara pasangan Capres dan Cawapres in bisa dilihat dari jargon “ayo memajukan negeri sendiri dengan kemampuan kita sendiri”. Kubu Mega-Pro yang selama ini dikenal sebagai kubu oposisi terus menyuarakan“bangkit ekonomi kerakyatan” dan kembali menggunakan ekonomi kerakyatan dan menolak sistem ekonomi neolib yang telah terbukti menyengsarakan rakyat. Lain halnya pada pasangan incumbent yang terus mengklaim prestasi masing-masing selama memerintah dari kubu SBY-Boediono, dan kubu JK-Win terus mengajak masyarakat untuk me-Lanjutkan pemerintahan yang ada. Disamping isu keberhasilan memberantas kasus-kasus korupsi dan bantuan-bantuan terhadap rakyat (BLT, Raskin dll).  
 Disamping saling serang isu neoliberalisme kampanye pencitraan juga sangat gencar karena media dianggap sebagai alat yang ampuh untuk membentuk persepsi masyarakat dalam menilai sosok atau figur yang sesuai dengan norma-norma ketimuran. Dalam kampanye pencitraan, kubu SBY paling gencar melakukannya. Image adalah nomor satu untuk merebut simpati dan suara, maka ini bisa dimasukan dalam ikon image yang lebih menonjolkan sosok, daripada prestasi atau track record kebijakan-kebijakan selama ini. Contoh yang paling nyata adalah SBY megambil jingle lagu produk mie instans “ SBY Presidenku……” disamping menggunakan instrumen non politik seperti keluarga dll. 
 Memang diantara ikon dengan indeks seringkali sulit dibedakan ketika pada aplikasi pemaknaan. Artinya, sering disebut sebagai ikon namun sekaligus juga menjadi sebuah indeks. Ikon, indeks, dan simbol dapat menjadi satu yang tak dapat dipisahkan. Pengertiannya, bahwa ketika penyebutan ikon …… sebaliknya juga disebut simbol, karena ada indeks dan juga ikon (Susilo Mansurudin, 2006).
4.2. Relasi Makna Jargon Dan Motto Dengan Realitas Sosial Yang Ada.
 Masa kampanye secara resmi Capres dan Cawapres terbuka dimulai pada tanggal 11 Juni 2009. Adu argumen jargón dan motto serta visi misi dilakukan. Iklan, baliho dan spanduk dengan ukuran jumbo terpasang dimana-mana, yang konon sampai mengahabiskan miliaran rupiah dilakukan demi meraih suara yang maksimal pada hari penyontrengan. Namun apakah itu hanya sebuah janji-janji manis belaka atau memang akan dilaksanakan, jika kelak terpilih? Pertanyaan itu sangat patut untuk dilontarkan, mengingat dari pengalaman-pengalaman pada setiap pemilu. Janji-janji manis selalu mewarnai dalam setiap pemilu. Lalu jika sudah terpilih rakyat seakan terpinggirkan lagi dan tentu kesejahteraan tetap saja. bahkan tambah turun.
 Dari analisis relevansi makna ini. Penulis ingin menghubungkan janji-janji yang tertuang dalam jargon dan motto para Capres dan Cawapres dengan kondisi sosial. Dengan kata lain jargón dan motto Capres dan Cawapres yang ingin dianalisis, sehigga akan diketahui makna relasi antara hubungan tanda (jargón dan motto) dengan kondisi masyarakat.
Penganalisisan relasi makna jargón dan motto dengan realitas sosial akan dimulai dari Nomor urut pasangan Capres dan Cawapres satu persatu sesuai dengan tabel sebelumnya;


4.2.1. Mega-Pro ( Megawati Soekarno Putri – Prabowo Subianto Djojohadikusumo).
“Ayo bersatu untuk Indonesia lebih baik” 
Dalam slogan dan motto ini Mega-Pro ingin mengajak rakyat, terlebih pendukungnya yang terkenal mempunyai basis masa setia PDIP untuk bersatu menuju Indonesia yang lebih baik. Sadar akan pentingnya persatuan yang semakin teracam oleh isu disintegrasi. Sebagai pasangan Nasionalisme kerakyatan. Mega-Pro merasa perlu untuk mengangkat dan membenahi permasalahan itu ketika terpilih nanti. Mustahil akan memunculkan kondisi lebih baik jika persatuan belum terbangun dan terancaman disintegrasi. Kondisi ini bisa dilihat dibeberapa daerah yang menginginkan lepas dari indonesia seperti tuntutan merdeka dari GAM Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) serta OPM (Organisasi Papua Merdeka). 
“Mega-Pro, rakyat No 1”
Kekalahan pilpres tahun 2004 menjadikan Megawati dan partainya menjadi oposan (oposisi) yang selalu mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan selama ini. Di tahun 2009 ini juga, Megawati kembali mencalonkan diri, bukan sebagai incumbent tapi sebagi oposisi. Diantara jargon dan motto kampaye pasangan Mega-Pro lah yang paling kencang menyuarakan nasib da penderitaa rakyat, terutama rakyat kecil atau wong cilik seperti, buruh, nelayan, petani, pengangguran dan pelajar miskin. Bukan hanya sekedar mengumbar janji-janji manis demi mendulang perolehan suara, Mega-Pro gencar melakukan kontrak politik untuk menyakinkan rakyat bahwa pasangan Capres-Cawapres serius dan peduli serta akan melaksanakan apa yang dikontrakan selama kampanye jika terpilih kelak. Namun dari kontrak politik ini bisa dianlisis bahwa kontrak politik merupakan bentuk dari krisis kepercayaan rakyat terhadap ucapan atau janji dari pasangan Capres-Cawapres dan seolah-olah jika kontrak olitik ini tidak dilaksanakan sesuai kontrak masyarakat bisa menggugat secara hukum kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih kelak. Kontrak politik sering dilakukukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum tanpa suatu klarifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klarifikasi hukum. Karena dibuat dengan bahasa abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakan dalam ranah hukum (non enforceable). Ada sebuah penelitian yang membuktikan bahwa lebih dari 85 persen putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak ditaati oleh pejabat TUN (Tata Usaha Negara). Jika putusan pengadilan pun tidak ditaati, apalagi arti sebuah kontrak politik.(Hadi Shubhan; Jawa Pos, 2/07/09). Inilah gambaran dengan realitas bahwa krisis kepercayaan rakyat disebabkan oleh degradasi moral para calon/kandidat.
“Bangkit Ekonomi Rakyat”  
Sistem atau kebijakan suatu Negara memiliki peran penting dalam membangun perekonomian suatu bangsa. Kebijakan ekonomi yang baik dapat membawa suatu bangsa yang maju, adil, sejahtera, atau sebalikya. Karena itu di dunia ini, ada bangsa yang maju dan sejahtera. Namun, ada yang tertinggal dan menderita. Itu bergantung kepada pengelola ekonominya (Sri Adiningsih; Jawa Pos, 25/05/09). Seperti diketahui pembanguna ekonomi Indonesia merosot dari tahun ke tahun. Ini bias dilihat dari turunnya sector formal dan meningkatnya sector informal. Daya saing internasional juga bias dikatakan lemah lemah. Ini dibuktikan dengan semakin tertinggalnya Indonesia dengan Negara-negara asia bahkan di asia tenggara seperti Kamboja, Vietnam maupun Myanmar. Factor ketergantungan kepada luar negeri contoh paling nyata sehingga ekonomi Indonesia semakin merosot tajam sehingga pengangguran dan kemiskinan masih menjadi teman akrab rakyat. Inilah kemudian pasangan Mega-Pro menawarkan misi bahwa ketergantungan kepada luar negeri harus dikurangi bahkan dihilangkan dengan kembali ke UUD 1945 dengan membangkitan ekonomi kerakyatan, bukan sebaliknya yang selama ini dirasakan. Namun dalam motto ini tidak didukung oleh track record Megawati yang pernah memegang jabatan Presiden periode 2002 sampai 2004, yang pernah menjual aset-aset negara dan BUMN kepada asing. Inilah yang kemudian diragukan oleh masyarakat dan menjadi bumerang bagi tersendiri bagi pasangan Mega-Pro.  
“Karena menindas Buruh kami bertekad mencabut UU 13 (Ketenagakerjaan)”
Seperti jargon dan motto bangkit ekonomi Indonesia. Slogan nomor 3 ini dipertanyakan lagi, dan seolah menjadi blunder bagi Megawati. Karena UUD No 13 (Ketenagakerjaan) ini disahkan pada saat periode Megawati selama menjadi Presiden dulu. Seperti diketahui bahwa UU No 13 ini sangat menindas pekerja/buruh, karena mengesahkan outsourching atau tenaga kontrak. Jelas tenaga kontrak sangat merugikan buruh/pekerja dan lebih menguntungkan para pengusaha dan pemilik modal. Karena status pekerja sebagai kontrakan dan bukan sebagai pekerja tetap, perusahaan, para pengusaha dan pemilik modal tidak bisa dikenai untuk menjamin dan mensejahterkan pekerja. Inilah yang kemudian memasung hak-hak dasar buruh dan pekerja kontrakan yang semakin terjepit oleh keadaan karena melawan atau memprotes tentu akan terancam PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), namun disatu sisi mereka tertindas oleh sistem yang bernama UU No 13 yang tanpa ada jaminan kesehatan, keselamtan bekerja, tunjangan kesejahteraan dan tentunya bisa mem-PHK-an sepihak tanpa berkoordinasi dengan pekerja tanpa pesangon. Dalam kondisi krisi global seperti sekarang, gelombang PHK menjadi momok menakutkan bagi buruh. Dalam situasi krisis itulah keberadaan hukum tanaga kerja,mulai dipersoalkan sebagian kalangan (Agustinus Simanjuntak; Jawa Pos, 01 Mei 2009) Dari pasangan Mega-Pro ini jelas bisa diketahui, bahwa untuk meraih suara dan simpati rakyat janji-jani manis tentang perubahan/penghapusan UU itu berkorelasi dengan situasi krisis pun seakan sah untuk diangkat dan dijadikan komoditas (politik) kampanye mereka. 
“Pelajar miskin harus kuliah kami bertekad mencabut UU BHP”
Diantara kebijakan yang tak populis pada masa pemerintahan SBY-JK adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Lalu seperti apakah UU BHP sendiri? Seperti yang diketahui dalam subtansinya bahwa UU BHP ini melegalkan privatisasi pendidikan terutama pada perguruan tinggi negeri. Kebijakan ini mengacu pada pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam subsidi biaya pendidikan. Sebab, imbas dari regulasi itu perguruan tinggi mencari dana sendiri dengan cara meninggikan harga pendidikan bagi siapa pun. Dengan begitu, harapan agar anak-anak orang miskin bisa menikmati bangku pendidikan tinggi ibarat panggang jauh dari api (Moh. Yamin; Jawa Pos, 18 Mei 2009). Padahal dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 menyatakan fair miskin dan anak-anak terlantar harus dipelihara negara sedangkan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) menyatakan pemerintah wajib membiayai pendidikan setiap warga negara. Kurangnya para elite politisi memperhatikan pendidikan ini coba ingin diangkat oleh pasangan Mega-Pro sebagai komoditas mereka dalam pilpres ini yang dijanjikan jika terpilih kelak akan dicabut dan akan menjalankan amanat konstitusi.
4.2.2. SBY-Boediono (Susilo Bambang Yudoyono – Boediono)
“Terus berjuang untuk rakyat. Lanjutkan”
Sebagai kandidat incumbent, gembar-gembor dan klaim terus didengungkan oleh pasangan SBY-Boediono. Ini bisa dilihat dan seakan menjadi trade-mark dari kata “Lanjutkan”. Klaim tentang keberhasilan dibidang ekonomi, politik serta membentuk opini bahwa selama ini apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK, berhasil dan pantas untuk di-Lanjutkan. Lalu apakah benar adanya bahwa selama ini SBY telah memperjuangkan rakyat dan pantas melanjutkan untuk jangka 5 tahun kedepan?. Jika kita flash back dan berkaca dengan kebijakan-kebijakan yang pernah diambil dan dibuat. Pada masa periodenya SBY pernah mengambil kebijakan kenaikan BBM (Bahan Bakaar Minyak) tiga kali, karena alasan kenaikan minyak mentah dunia yang mencapai 150 Dollar perbarel .ini lah yang kemudian mendapat protes keras dari berbagai kalangan,karena dinilai sangat memberatkan rakyat. BBM adalah barng yang sangat sensitif. Jika BBM naik hampir dipastikan bahwa semua mulai dari transportasi, industri, dan barang kebutuhan pokok akan naik. blok cepu yang akhirnya jatuh ke tangan exxon, impor beras yang sangat mematikan petani, kaarena harga hasi panen dalam negeri jatuh drastis yang kalah akan beras impor. Memang selama masa pemerintahan SBY, bermacam kebijakan juga sepintas ada yang pro terhadap rakyat, seperti beras untuk rakyat miskin, sekoah gratis, dan BLT (Bantuan Tunai Langsung) yang diberikan kepada rakyat sekitar Rp.300.000.00 kepada rakyat yang diangap tidak mampu denga alasan untuk mengurangi beban bagi rakyat kecil. Lalu apakah tidak ad efek langsung dari kebijakan ini? BLT telah terbukti banyak membawa korban serta membuat psikologis rakyat hanya berpangku tangan. 
Namun yang perlu dikritisi adalah bahwa unsur kepentingan politis sangat kental dalam setiap kebijakan-kebijakan populis SBY. Kenapa tidak dari dulu. Kenap juga baru-baru saja ini menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Lalu dengan demikian SBY mengeklaim bahwa mereka benar-benar pedulidengan rakyat.
“Berjuang untuk Rakyat sejahtera,Demokratis dan Berkeadilan”
Slogan-slogan tentang klaim SBY sepintas terlihat sama semua. Semua seolah untuk memperjuangakan rakyat yang menuju kesejahteraan, demokratis dan berkeadilan. Jika kita melihat berita tentang pembagian zakat, pembagian BLT atau pembagian yang bersifat gratis atau murah untuk rakyat. Pasti penuh dengn desak-desakan bahkan sampai membawa korban jiwa. Iniah ukuran apa benar rakyat sejahtera?. Lalu pada bidang politik, apakah sudah demokratis. Sudahkan kita dijamin oleh negara untuk bebas berpendapat? Kasus Prita Mulyasari adalah kasus nyata yang muncul ke hadapan publik betapa negara dalam hal ini kurang sekali melindungi hak-hak setiap warga negara. Karena tentunya kesejahteraan, demokratis dan keadilan hanya untuk orang yang berduit saja. Tapi inilah mas kampanye. Semua calon sah untuk mengumbar janji dan klaim-klaim tentang keberhasilan meraka selama ini, yang terlihat seolah membela rakyat kecil. 
Menjelang pilpres, senter diberitakn bahwa negara kita dikuasai oleh sistem neoliberalism. Isu ini muncul karena sosok terpilihnya pendamping SBY, Boediono yang sebagai wakil presiden. Orang yang paham akan siapa Boediono dan bagaimana sepak terjangnya menganggap bahwa Boediono adalah sosok agen neoliberalis, yang akan menjerumuskan bangsa ini kepada penjajahan gaya baru penjajahan dengan ekonomi bkan dengan fisik lagi. Ini kemudian menjadi ramai di media cetak dan elektronik. Lalu para kandidat membela diri sendiri denga mengatakan bahwa mereka bukanlah agen neoliberalis mereka sangat pro rakyat.


“SBY Presidenku. Pemimpin bangsa sahabat keluarga”
Menurut Aristoles bahwa salah satu satu elemen dalam berpolitik untuk merebut hati dan simpati adalah faktor-faktor non teknis, seperti keluarga kegiatan sehari-hari, hobi dan berbagai hal yang berkaitan dengan sang politikus itu sendiri. Inilah yang coba dibangun oleh SBY. Politik pencitraan sangalah lekat oleh SBY, ini kemudian yang akhirnya menjadikan mendapat julukan si Tebar Pesona. Tidak dpungkiri bahwa persepsi masyarakat paling besar masih dipengaruhi oleh media. Apalgi SBY sendiri suka muncul dalam setiap kesempatan dan pintar mengambil hati rakyat dengan dirinya yang dinulai sebagi seorang presiden yang santun, sopan dan gagah. Ini juga ditunjukan oleh calon wakil presidennya Boediono sebagai sasok yang pendiam tidak banyak mengumbar kata-kata di media dan sosok yang religius. Kemenangan Obama di Amerika rupanya telah turut serta mempengaruhi SBY-Boediono. Ini bisa dilihat dari simbol dan cara untuk meraih dukungan lewat cara-cara Obama seperti menggunakan elemen keluarga.
“Tegas memberantas korupsi. Tidak cepat memperkaya diri”
Tampaknya masalah ekonomi menjadi prioritas ketiga capres dalam pemilu pilpres 2009 ini lebih banyak mengumbar tentang perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. Ini bisa dilihat dengan banyaknya visi dan misi ketiga capres dan cawapres yang banyak mengusung tema ekonomi. Namun ada benang berah yang dilupakan para capres bahwa untuk membangun sistem perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tidak berangkat dari permasalahn hakiki yang menyebabkan bangsa indonesia jatuh miskin, dan mengalami krisis berkepanjangan. Akar dari semua masalah ekonomi semestinya bersumber dari mengguritanya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Jabir Alfaruqi; Jawa Pos, 12/06/09). Inilah yang coba diangkat oleh pasangan SBY-Boediono dalam jargonnya. Untuk membangun pemerintantahan yang bersih harus tegas memberantas korupsi. Ini juga diperkuat dalam periode periode pemerintahan SBY selama ini dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi (KPK). Namun kita masih sering meragukan penanganan korupsi hanya sebatas tebang pilih dan yang sering menjadi luput dari pandangan kita bahwa penanganan korupsi hanya sebatas untuk kepentingan atau komoditas politik itu kenapa ada anggapan bahwa penanganan kasus korupsi hanya sebatas tebang dan pilih. 
“Pemerintahan bersih untuk rakyat. Lanjutkan”
Mengacu pada jargon sebelumya “tegas memberantas korupsi dan tidak memperkaya diri”, SBY ingin menunjukan bahwa pemerintahan yang ada selama ini adalah pemerintahan yang bersih dan tidak memperkaya diri yang pantas untuk dilanjutkan. Namun isu neoliberalisme telah menjadi pembicaraan hangat di banyak kalangan. Bahwa pemerintahan ang selama ini banyak dicampuri oleh kepentingan asing dan terus-menerus dihantui oleh privatisasi aset-aset negara. Kesan menguat neoliberalisme ketika SBY memilih Boediono sebagai calon wakil presidennya bahwa bangsa ini kedepannya hanya akan diserahkan oleh asing dengan jalan privatisasi dan utang sehingga pemerintah bisa di dikte oleh kaum neoliberalis internasional. Boediono yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Megawati itu dikenal sebagai motor privatisasi perusahaan nasional, bahkan Boediono dinilai sebagai simbol neoliberalisme yang membawa keterpurukan ekonomi bangsa. Banyak mengatakan pilihan SBY kepada Boediono lebih karena selera (Neoliberalis) Internasioanl. Ini kemudian berlanjut menjadi semacam anggapan bahwa pemerintahan SBY selama ini adalah pemerintahan yang Neoliberalisme dan tidak bersih. Ini ditunjukan dengan kenaikan BBM tiga kali, penyerahan blok Cepu ke exxon, perpanjangan kontrak Freeport di Papua. Hutang juga semakin menigkat mencapai kisaran 1.700 Triliun, dan dalam jargon pemerintahan bersih untuk rakyat ini adalah sebagai pencitraan dan jawaban-jawaban akan tuduhan-tuduhan itu.
4.2.3.JK-Win (Jusuf Kalla-Wiranto)
“Lebih cepat lebih baik”
Diantara ketiga pasangan JK-Win lah yang paling cepat mendeklarasikan diri untuk maju sebagai capres dan cawapres. Ini dikaitkan dengan motto lebih capat lebih baik. Pasangan JK-Win ini, menilai bahwa perbaikan dan pertumbuhan ekonomi haruslah cepat diselesaikan sehingga rakyat tidak terus menunggu dan menunggu, yang selama ini akrab dengan kemiskinan dan kesulitan hidup yang semakin akrab di dalam bangsa yang gemah ripah loh jinawi akan sumber daya alam yang melimpah. Ini juga dikaitkan dengan sosok JK yang mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam segala kondisi karena latar belakang usahawan yang dibawanya dan Wiranto sebagai purnawirawan tentara yang mampu dengan cepat dan tegas pula.
“Pasangan Nusantara, untuk Indonesia yang lebih baik”
Mitos bahwa Presiden Indonesia hanya untuk orang Jawa ingin ditepis oleh JK (yang asli Bugis). Anggapan ini rupanya ingin juga dibuktikan dengan kolaborasi antara JK-Win. Sebagaimana baliho dan spanduk yang ada di jalan-jalan, tentang pasangan nusantara ini sesuai dengan apa yang diusung. Ini bisa dilihat dari JK sendiri masih keturunan Bugis sedangkan istrinya seorang Minangkabau lalu Wiranto dari Jogja dan istrinya yang berasal dari Sulawesi. Pasangan ini juga seolah ingin membuktikan dari peryataan Andi Mallarangeng yang mengatakan bahwa orang Bugis belum saatnya jadi Presiden, yang menurut JK pernyataan itu sangat menyesatkan dan bisa menimbulkan benih-beniih konflik dan disintegrasi bangsa yang selama ini coba dibangun kembali. Tentunya pasangan nusantara ini ingin merebut suara di daerah-daerah di luar Jawa yang selama ini sebagai sosok anak tiri dalam pembangunan, dan juga untuk indonesia yang lebih baik.
“Hanya yang peduli bisa membantu”
Slogan ini sebenarnya ingin menepis bahwa latar belakang saudagar dalam diri JK tidak serta merta menghilangkan kepedulian JK untuk bangsa ini. Slogan ini juga seolah ingin membantah dari pernyataan SBY yang mengatakn soal bisnis keluarga. Namun JK menjawab bahwa apalah arti bisnis keluarga jika tidak ada kepedulian dan membantu,ini mengacu pada perebutan klaim kebijakan koversi minyak tanah dan BLT yang ingin diklaim oleh SBY. Sosok JK yang peduli dengan penyelesaian konflik dai daerah-daerah mulai dari perdamaian di Aceh samapai perjanjian Malino di maluku juga ternyata ingin diangkat dalam slogan ini.  

“Lugas dan tegas”
Latar belakang saudagar dan tentara ini tentu ingin ditunjukan oleh pasangan JK-Win yang ingin digambarkan sosok JK yang Lugas dalam bertindak, berbicara, dan mengambil keputusan. Sedangkan Wiranto sebagai sosok purnawirawan militer ditampilkan tegas dalam dirinya. Ini mengacu pada diri SBY seorang Presiden peragu selama ini, walapun SBY sendiri berlatar belakang militer. Dalam kebijakan-kebijakan yang tidak populis pun JK pun selalu tampil untuk mengumumkan, walau banyak mendapat tentangan dari banyak kalangan.
“Ayo majukan negeri dengan kemampuan kita sendiri”
Persaingan antara kandidat caprea dan cawapes sangatlah panas dan keras, namun jika melihat lebih persaingan bermuara pada SBY-Boediono melawan Mega-Pro dan JK-Win. Ini diperkuat dengan isu Neoliberalisme yang menyerang pada pasangan SBY yang selama ini sumber daya alam kita lebih banyak diserah kepada asing atau pihak Neoliberalisme. Mengelola dan memajukan dengan kemampuan diri, bangsa indonesia sendiri tentu lebih cepat mengejar ketertinggalan yang ada dan akan menuju pemerintahan yang lebih baik, yang selama ini masih tertinggal dan banyak dari kekayaan kita di eksploitasi dan bukan dinikmati oleh bangsa sendiri. Disamping jargon tentang ekonomi kerakyatan oleh Mega-Pro, inilah jargon yang ingin menyindir juga terhadap pasangan SBY-Boediono yang disimbolkan sebagai pro Neoliberalisme. 
“Hanya yang berani yang pantas me-Lanjutkan”
Persaingan SBY dan JK jika kita lihat menarik untuk kita bahas, dimana persaingan antara dua kandidat incumbent. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bukan hanya saling sindir dan perang kata-kata di media antara SBY JK, namun pada perang slogan dan jargon yang muncul juga. Sosok JK sebagai sosok yang berani lugas serta dapat mengambil keputusan cepat dimanfaatkan untuk menyindir balik klaim SBY selama ini, bahwa SBY adalah Peragu dan hanya bisa manggut manggut serta hanya bisa mencitrakan diri seperti bintang sinetron. Diantara tiga kandidat barangkali JK lah yang laing berani mengritik dan berbicara dengan lugas dan tegas menyangkal semua yang selama ini menjadi klaim oleh lawannya (SBY)
 
BAB V
KESIMPULAN
Pada bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.
5.1. Kesimpulan
  Berdasarkan uraian analisis pada BAB III, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, pemilu adalah mutlak untuk dilakukan. Untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pejabat dalam pemerintahan untuk masa 5 tahun kedepan. Karena asas dari demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka rakyat adalah prioritas utama untuk disejahterkan. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Wakil-wakil rakyat dan para pejabat haruslah amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya, dan landasan untuk bernegara tentunya UUD 1945 sebagai landasan dasar. Namun jika konstitusi tidak dijalankan serta rakyat hanya dijadikan komoditas kepentingan setiap pemilu, niscaya bangsa itu adalah bangsa yang sedang mengalami kehancuran., dan tentunya bangsa ini belum sepenuhnya merdeka 100 %. 
Mustahil rasanya untuk untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik jika korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi budaya para elite politisi. Sekuat apapun pondasi dan sistem ekonomi kita jika budaya KKN yang sudah mengakar ini masih ada niscaya indonesia masih akan lama terjerembab dalam kemiskinan di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Sementara visi dan misi tentang pemberantasan korupsi masih sebatas tebang pilih dan hanya menjadi komoditas politik untuk saling jegal merebut kekuasaan.
Kedaulatan negeri ini sedang terancam baik dari dalam dan luar negeri. Baik kedaulatan wilayah kita yang semakin dinjak-injak oleh negara lain maupun kedaulatan ekonomi, budaya, dan politik kita. Jika kita tidak untuk belajar mandiri dalam mengelola sumber-sumber daya alam kita (Nasionalisasi). Ketergantungan terhadap luar negeri juga harus dikurangi dan kalau bisa dihapus untuk menuju bangsa yang berdulat dan berdikari (berdiri dikaki sendiri).
Dari kesimpulan relasi jargon dan motto di atas, bahwa sangat erat hubungannya antara satu sama lain. Namun yang patut kita prihatinkan. Mengapa, tidak ada langkah-langkah serius untuk menangani semua permasalahan yang ada yang ditampilkan dari janji-janji jargon dan motto kampanye mereka. Bukankah pada pemilu yang lalu-lalu semua itu sudah pernah di tampilkan dan dijanjikan, tapi ternyata hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Untuk rakyat tidak ada bukti yang nyata, rakyat hanya menjadi kambing congek setiap pemilu.Konstitusi juga hanya sebatas sebagai formalitas UUD yang lemah syahwat tanpa implemntasi, jika demikkian bersap-siaplah bangsa ini untuk lima tahun kedepan masih akan terjajah secara ekonomi dan ketergantungan terhadap luar negeri masih tinggi, untuk lima tahun kedepan kita masih tetap bangsa ini terpuruk multidimensional. Bukan hanya krisis ekonomi yang berkelanjutan tapi krisis kepercayaan, krisis budaya, krisis moral. Selengkapnya...

ANALISIS SEMIOTIKA PADA JARGON DAN MOTTO KAMPANYE CAPRES CAPWAPRES DALAM PILPRES 08 JULI 2009

Di dalam negara yang menganut demokrasi pemilihan umum adalah syarat mutlak untuk menentukan arah dan nasib bangsa yang diamanatkan pada orang-orang pilihan. Pada tanggal 8 juli 2009 mendatang rakyat indonesia untuk kedua kalinya (setelah pemilu 2004) akan menentukan pilihannya langsung memilih presiden dan wakil presiden setelah melewati pemilhan legislatif . tentunya jika ada pemilihan tentu ada masa kampanye para kandidat untuk merebut hati dan suara rakyat melalui program dan janji-janji manis jika mereka kelak terpilih nanti. 
Masa kampanye telah dimulai dan seperti yang pernah kita tahu, spanduk, baliho, bendera dan poster serta reklame dari ukuran kecil sampai ukuran jumbo banyak menjamur di tiap pojok dan pinggir jalan, serta tak lupa janji dan jargon yang menjadi ciri khas dari masing-masing pasangan capres dan cawapres. Hari sabtu 16 Mei 2009, resmi sudah 3 pasang Capres-Cawapres yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden Juli 2009 mendatang sudah mendaftarkan diri ke KPU. Semuanya hadir ke kantor KPU dengan modifikasi gaya yang disesuaikan dengan konsep masing-masing. Televisi melaporkan kejadian tersebut, bahkan ada yang secara langsung.
Dari masing-masing tiga pasangan Capres dan Cawapres terpilih pada Nomor urut satu sesuai hasil undian KPU Megawati Soekarno Putri dengan Prabowo Subianto Djoyohadiusumo disingkat dengan MEGA-PRO, yang diusung oleh PDIP dan partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya. Pada Nomor urut dua duet Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan Boediono atau SBY – Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat sebagai Partai pemenang pemilu Legislatif kemarin dan partai hijau atau partai-partai yang memperoleh suara yang tidak terlalu signifikan pada pemilu legisatif kemarin. Boediono sendiri bukanlah orang partai namun dia dari kalangan ekonom mantan pejabat di BI (Bank Indonesia) serta Mentri Keuangan. Sedangkan seperti yang kita ketahui SBY adalah calon incumbent disamping Jusuf Kalla. Pada urutan terakhir Nomor tiga ditempati oleh pasang Incumbent juga oleh Wapres Jusuf Kalla dan Wiranto atau biasa disingkat dengan JK-Win yang didukung oleh partai Golkar dan Partai Hanura.
Dari ketiga pasangan capres dan cawapres ini tentu telah mempunyai tim sukses untuk memenangkan pemilihan presiden yang sudah didepan mata kita. Kampanye juga sudah digelar. Yang menarik jika kita amati adalah dari ketiganya ini masing-masing mempunyai motto dan jargon yang mereka gembar-gemborkan selama kampanye dan banyak menghiasi di pinggir-pinggir jalan. Semangat membaa indonesia menuju ke lebih baik untuk bisa lepas dari kemiskinan yang masih membelit, sampai pada sembako murah dan tentang ekonomi kerakyatan yang pro terhadap rakyat mereka tawarkan. Sedangkan dari calon incumbent SBY dan Jusuf Kalla tidak kalah sengitnya dalam persaingan untuk merebut suara dengan saling klaim bahwa keberhasilan pemerintahan selama ini takepas dari pera masing. Ini tercermin dari jargon dan motto kampanye yang mereka pakai selama masa kampanye.  
Dari pasangan Mega-Pro identik dengan jargon-jargon kerakyatan atau “menuju Indonesia yang lebih baik”. Sedangkan dari calon Incumbent SBY-Boediono masih percaya dengan motto bahwa apa yang menjadi hasil pemerintahan sekarang masih dan layak untuk dilanjutkan dengan motto “terus berjuanguntuk rakyat, Lajutkan”. Sedangakan daari kubu JK-Win tidak kalah sengit yang beranggapan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Tak ragu-ragu memakai slogan “Lebih cepat lebih baik”. Namun dibalik semua kata-kata jargon dan motto para kandidat itu. Apakah memang benar akan mereka wujudkan atau appakah hanya janji-janji manis belaka. Lalu bagaimana dengan rakyat setelah itu?
Ada anggapan bahwa rakyat sekarang sudah cerdas memilih. Ada juga naggapan bahwa memang selama ini rakyat hanya dibutuhkan ketika masa pemilu tapi ketika berkuasa janji-janji seakan hilang dan tak pernah terealisasi dan rakyat terpinggirkan lagi. Jargon dan motto mereka seperti hilang tanpa bekas. Rakyat masih tetap bergelut dengan kemiskinan, kesulitan mendapatkan pekerjaan serta barang-barang kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal. Belum lagi ketakutan akan penggusuran bagi orang kelas bawah yang ada dikota juga kenaikan BBM yang biasanya diikuti oleh kenaikan disegala bidang kebutuhan rakyat kecil.
Untuk itu, sebelum memilih kita harus jeli dalam menilai tepat orangnya. Karena nasib bangsa dan negara ada ditangan pilihan rakyat. Jangan lagi memilih kucing di dalam karung. Dalam hal ini penulis ingin melakukan penelitian karena terdorong untuk mengetahui jargon dan motto para capres dan cawares apakah memang benar seperti itu atau hanyalah omong kosong untuk merebut suara rakyat. Untuk menganalisis jargon dan motto penulis akan memakai teori semiotika sebagai landasan teorinya. Serta analisis relevansi makna dengan kondisi dan isu-isu sosial yang selama ini terjadi. Serta kaitannya dengan situasi politik yang ada.
Tentunya kita semua berharap Pilpres yang akan digelar 8 Juli mendatang akan berjalan dengan baik dan lancar serta LUBER. Serta terpilihnya pemimpin yang selalu berpihak terhadap rakyat, dan kemudian dari itu akan membawa rakyat yang adil dan sejahtera yang selama ini diiadam-idamkan. Semoga saja. 

Selengkapnya...